![]() |
Peringatan hari agraria pada 25 September 2017 lalu menjadi momentum bagi pemerintah pusat dalam menakar sejauh mana upaya pemerintah dalam menangani berbagai problematika agraria. Upaya tersebut sudah tertuang pada Rencana Kerja Pemerintah tahun 2017 dalam Perpres №45/2016 pada 16 Mei 2016. Di dalam rencana kerja tersebut, terdapat lima program yang diprioritaskan terkait dengan reformasi agraria, diantaranya penguatan kerangka dan penyelesaian konflik berlatar agraria, penataan penguasaan dan kepemilikan tanah, kepastian hukum dan legalitas atas tanah, pemberdayaan masyarakat terkait pendayagunaan tanah, serta kelembagaan antara pusat dan daerah.
Ada beberapa hal yang dilakukan pemerintah dalam mengurai masalah agraria, diantaranya:
Pertama, pemerintah melakukan Kebijakan Peta Tunggal (One Map Policy) untuk menyinkronisasi regulasi dan hukum di semua tingkat. Kebijakan ini nantinya mengatur penataan, redistribusi, serta legalisasi pertanahan. Selain itu, dibentuknya kebijakan peta tunggal turut didasari oleh perbedaan cara tafsir yang berujung inakurasi data pertanahan sehingga menimbulkan perbedaan persepsi soal agraria. Hal inilah yang dapat memantik konflik agraria dalam masyarakat.
Kedua, proses penyelesaian sengketa/konflik agraria dilakukan secara bertahap. Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau Kementerian Agraria dan Tata Ruang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan problema ini. Dengan juru ukur pertanahan yang tersedia, proses penyelesaian sengketa tidak dilakukan serentak di semua propinsi. Langkah dilakukan bertahap pada 1 hingga 3 propinsi terlebih dahulu supaya mendetail dan terencana dengan baik.
Ketiga, Bank Tanah dijadikan strategi bagi pemerintah untuk keperluan umum. Pemerintah pusat di bawah maklumat kewenangan yuridis Menteri ATR dapat mengakuisisi tanah yang telah habis masa Hak Guna Usaha-nya (HGU), maupun tanah-tanah terlantar lainnya. Cara lainnya adalah dengan mengambil-alih lahan yang dikuasai oleh pihak swasta/masyarakat dengan tujuan didayagunakan lalu diserahkan pada pihak pengembang.
Keempat, pemerintah pusat meminta lembaga terkait untuk membantu mengentaskan kemiskinan masyarakat pedesaan yang tinggal di dalam maupun sekitar hutan. Hal ini dikarenakan terdapat 25.863 desa yang menggantungkan hidupnya oleh hasil hutan. Terdapat 10 juta penduduk miskin yang tidak memiliki kepastian hukum terkait kepemilikan dan akses sumberdaya hutan. Pemerintah pusat pun segera menggulirkan regulasi terkait perhutanan sosial yang dapat memberikan akses terhadap masyarakat di desa-desa sekitar untuk ikut andil dalam mengelola dan memanfaatkan hasil perhutanan. Hingga saat ini realisasi perhutanan sosial melalui skema Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Desa, Hutan Kemitraan, Hutan Adat, juga Hutan Kemasyarakatan belum optimal. Dengan luas 5,4 juta hektar, realisasi pencadangan areal lahan Hutan Tanaman Rakyat baru mencapai 13% pada 2014.
Seberapa Jauh Langkah Pemerintah Pusat Menyoal Reforma Agraria?
Beberapa minggu terakhir beberapa portal berita menyorot aktivitas Presiden Joko Widodo selaku kepala negara dalam ‘blusukan’ dan membagikan banyak sertifikat tanah pada waktu kunjungannya. Tak tanggung-tanggung, ribuan sertifikat tanah diserahkan pada waktu blusukan tersebut, dimana pun presiden singgah. Sertifikat tanah ini ditujukan pada masyarakat yang hingga kini masih belum memiliki legalitas atas kepemilikan petak tanah tertentu, sehingga acapkali terjadi tindak klaim tanah yang berujung konflik. Proses redistribusi tanah ini diutamakan pada buruh tani yang tidak memiliki lahan juga petani yang memiliki petak tanah di bawah 0,3 hektar.
Indonesia sendiri memiliki banyak sekali catatan kelam seputar konflik agraria. Pada tahun 2016 lalu, tercatat sebanyak 450 konflik terjadi yang melibatkan 1.265.027 hektar lahan konflik. Angka ini bahkan meningkat dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Pembagian sertifikat tanah oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo ditargetkan mencapai 5 juta sertifikat hingga pada akhir 2017. Angka ini terlihat cukup fantastis, namun masih kecil mengingat masih ada lebih dari 60 juta bidang tanah yang status kepemilikannya belum jelas. Pemerintah mentargetkan semua bidang tanah telah bersertifikat hingga pada 2025 nanti.
![]() |
Perkara konflik agraria yang tak kunjung terurai (Foto: Antara) |
Kendala utama yang merintangi proses sertifikasi tanah adalah kurangnya juru ukur pertanahan yang dimiliki Kementerian Agraria dan Tata Ruang Republik Indonesia. Kondisi ini turut menghambat akselerasi sertifikasi tanah yang hingga kini baru berada pada kisaran 500–700 ribu sertifikat per tahun. Proses rekrutmen tertutup maupun seleksi Pegawai Negeri Sipil menjadi salah satu jalan yang dapat dilalui dalam menggaet juru ukur baru demi percepatan pembagian sertifikat tanah.