Menaklukkan Sang ‘Punuk Unta’

Menatapi rute pendakian terjauh di Gunung Andong, Magelang.

Sebuah pesan masuk.

“Jun, gue sama temen gue mau naik ke Andong. Ikut nggak?”

Rencananya, sore hari itu saya berencana pulang ke Magelang dalam rangka merayakan Hari Raya Idul Adha. Maklum, sebagai mahasiswa yang cuma kuliah di Jogja, rasanya kurang sreg kalau tidak merayakan hari raya bersama keluarga. Saya jadi membenarkan istilah “Magelang” sebagai ‘mahasiswa gemar pulang‘ karena kedua kota ini berjarak empat puluh menit saja. Terlebih lagi, lumayan toh anak kos bisa icip-icip olahan daging, hehehe.

Menaklukkan Rute Punuk Unta Gunung Andong Magelang

Sebenarnya, saya pernah melakukan pendakian ke puncak Andong tahun lalu. Pendakian itu adalah kali pertama saya menjejakkan kaki di puncak tinggi (bukan tertinggi ya) di Jawa Tengah. Sebelumnya, gunung Salak pernah menjadi bagian dari kisah saya, tiga tahun lalu.

Dan rupanya saya berminat untuk kembali mendaki ‘si punuk unta’ itu lagi.

Kok unta? Ya karena topografi ‘bukit’ Andong ini mirip dengan punuk unta dengan tiga puncaknya. Salah satu puncak –yang terendah– merupakan makam Syeikh Joko Pekih yang umum dikunjungi peziarah jelang sore hari. Dari puncak pertama dan kedua, para pendaki –kalau beruntung– bisa menyaksikan golden sunrise: momen yang saya dapatkan satu tahun silam.

Oh ya, omong-omong dalam pendakian kali ini, ada enam orang yang ikut serta. Ada Devi Aprillia, dan empat orang yang sama sekali tidak saya kenal. “Gue juga cuma kenal satu, Linda. Temen panitia PPSMB gue,” balas Devi sedikit menggebu dari kolom obrolan. Maklum, Devi belum pernah mendaki Andong sebelumnya.

Jadi, siapakah hike mate saya kali ini? Apakah kami akan ‘baik-baik saja’ hingga ke puncak nanti?

***

Berhubung saya adalah ‘lokal’ kali ini, otomatis jadi pemandu jalan ke basecamp. Gampang banget, cukup mengingat kembali rute … setahun yang lalu. ‘Perasaan lewat sini deh. Hmm, situ deh,‘ dengan modal cang-cing-cung, sambil sesekali melihat ke arah Andong nan gagah di timur laut, akhirnya kami tiba di basecamp tujuan. Sebentar …

“Lho? Basecampnya beda!”

“Beda apanya Jun?” balas Devi.

“Mmm … maksudnya ini bukan basecamp yang gue lewati tahun lalu.”

Tidak perlu panik-panik amat lah, karena setiap pendakian tentu mengarah ke puncak. Kami pun sepakat untuk mendaki dengan santai, tidak perlu terburu-buru. Jadi, lewat trek mana pun bukan masalah.

Iya sih, kayaknya.

“Sini sisi barat mas. Biasanya pendaki yang naik lewat sini niatnya lihat sunset sore-sore. Kan bagus tuh. Kalau cari sunrise, muter jauh lagi.”

Devi berpose pada trek pendakian punuk unta Gunung Andong

Hmm, sunset? Berarti saya jelas keliru memilih basecamp. Dulu, untuk mencapai basecamp dengan melewati perkebunan kol dan terong. Kami beristirahat sejenak sembari menanti adzan ashar berkumandang, beberapa orang turun dari Andong dan saling bersapa. Mereka segera meregangkan kaki, merebahkan tubuh, dan bernafas teratur. “Mas, kira-kira dari basecamp ini ke puncak berapa lama ya?” tanya Devi ke penjaga camp.

“Pendaki ini naik pukul 8 pagi dan baru turun jam 3 sore ini. Kalau jalannya sering berhenti, mungkin empat-lima jam lah.”

Sontak kami pun geger. Empat-lima jam itu sangat lama untuk pendakian bukit setinggi 1726 meter di atas permukaan laut ini. Beda lagi dengan kasus pendakian saya tahun lalu, ketika tas milik Candra terguling. Kami butuh waktu dua jam untuk mencari, sebelum lanjut mendaki. Tadinya kami ingin berpindah ke sisi timur, tetapi bocornya ban belakang motor Devi membuat kami urung. Dengan sangat terpaksa, kami tentu naik dari pos ini. Mau bagaimana lagi.

“Tiga - dua - satu. Andongers …”

YEAH!

***

Jeprat-jepret

15.00 WIB

Dengan berpanduan pada foto jalur pendakian dari penjaga basecamp Sekar Arum, setidaknya ada tiga pos yang akan kami lewati. Jalur-jalur ini bercabang, akan tetapi untuk mendaki hanya tersedia satu jalur terbaik: jalur lainnya untuk turun. “Nanti kita turun lewat jalan yang beda, supaya ada pengalaman baru.”

Dari desa Sekar Arum, kami cukup mengikuti alur pendakian yang ditentukan. Beberapa jalan setapak masih licin karena hujan kemarin. Anak-anak tangga mudah dilewati karena sudah ada batu di setiap pijakannya, dan berpagar bambu. Seratus meter, kurang lebih jarak yang kami tempuh hingga tiba di gazebo dalam hutan pinus. Kami merebahkan tubuh sebentar, sembari berkenalan.

Jadi, diantara kami berenam, masing-masing hanya mengenal satu teman. Saya kenal Devi, Devi kenal Linda, Linda kenal Aldi, Aldi kenal Nabila, dan Nabila kenal Udiyah. Mirip-mirip chain effect, dan kesolidan kami diuji disini.

“Jun, bisa tukeran tas nggak?”

Oke, berhubung ini kesalahan saya, “Enggak papa kok.”

“Ohiya, hari ini Aldi lagi puasa.”

***

17.10 WIB

Pendakian berlanjut dengan lamban. Sengaja. Selain supaya Aldi tidak kelelahan, semburat matahari menembus hutan pinus dengan gradasi oranyenya menciptakan ketenangan tersendiri. Jauh dari hiruk-pikuk kota, memandang luasnya cakrawala, lereng penuh pepohonan yang dibelah oleh awan rendah dan kabut jelang malam. Beberapa kali pendaki lain mendahului kami. Santai saja, ‘alon-alon asal kelakon.’

Sepanjang kurang-lebih 1000 meter kami mendaki lereng Andong dengan kemiringan sekitar 45°. Lelah. Bahkan satu botol Tupperware 750mL sudah habis. Aldi yang sedang berpuasa pun akhirnya menyerah. “Aku ditinggal aja deh. Enggak kuat.” Ya, namanya juga puasa. Untuk jalan kaki/jogging aja lelah, apalagi mendaki. Setelah berunding sebentar, diputuskan saya, Devi, dan Linda untuk naik terlebih dahulu. Kami pun bertukar tas, dan sebagai kloter pertama, kami bertugas untuk mendirikan tenda. Udiyah, dan Nabila bergabung dengan Aldi, menemaninya hingga waktu berbuka nanti. Oke, perjalanan dimulai.

Dari belakang, pendaki dengan bahasa dan logat berbeda mencoba mendahului kami. Seorang lelaki dan dua gadis bercakap dalam bahasa lain, “Dari mana mas?” Mereka menjawab dengan inisial USU. “Oooh, Universitas Sumatera Utara di Medan ya?” Salam kenal, kami dari UGM Yogyakarta.

Kami bersembilan mendaki beriringan. Tak terasa, sudah belasan kali kami berhenti hingga matahari segera terbenam di ufuk barat khatulistiwa. Persediaan air mulai menipis dengan habisnya Tupperware 750mL berikutnya.

***

18.20 WIB

Setelah melalui hutan pinus, kami mulai masuk ke dalam rimba. Pohon-pohon besar menjulang, dan pepohonan tropik merintangi jalan. Kali ini pendakian lebih terjal dan miring. Dan kabut tipis mulai menyelimuti kami, langit kelabu berganti gelap. Berhubung kami berada di sisi barat, ramai lalu-lintas Jogja-Semarang terlihat jelas dari sini. Deretan lampu jalan membentuk garis-garis lurus dengan lampu bergerak diantaranya. Mirip dengan pembuluh darah yang berdenyut. Tampaknya, kami telah tiba di pos Gerot dengan percabangan dari desa lain. Kali ini batu-batu besar merintangi kami. Dengan menggendong tas segede gaban, kami mengusahakan untuk bergerak segesit dan selincah mungkin. Sesekali saya berpegangan pada akar dan dahan pepohonan, sesekali juga saya harus merangkak supaya tidak terjungkal.

Tak berapa lama, tibalah kami di pos Pomahan berupa tanah sedikit lapang di samping trek pendakian. Pos ini ditandai dengan adanya bendera merah putih yang terikat pada bilah bambu dan pagar kayu. Dua orang muda-mudi tampaknya sedang menikmati sore mereka dengan ngopi santai di atas batu.

Sudah bawa carrier, bawa tenda juga

***

19.13 WIB

Hari semakin gelap. Kali ini kabut tipis mulai mengurangi jarak pandang. Ditambah angin malam yang kencang, kiri-kanan kami adalah jurang tanpa ada pepohonan, “Kayaknya kita udah sampai di ‘punuk Unta’.”

“Ati-ati gaes, pakai alat penerangan yang ada. Pelan-pelan asal sampai puncak,” koor Devi.

Jalan setapak dari pos batu tumpang hingga watu congol memang curam, bahkan terjal. Bebatuan besar sedikit bisa jadi pijakan sekaligus batu sandung yang mematikan. Karena kami belum makan sama sekali, satu-satunya cara menghangatkan badan adalah dengan menenggak persediaan air yang ada. Padahal, rencananya botol-botol air itu dipakai untuk masak di puncak nanti.

Semakin gelap, langit semakin kelabu, dan suasana tampak sendu

19.53 WIB

Kami tiba di padang sabana usai melewati pos Watu Congol. Rute pendakian memang terjal. Rasa lelah yang menggelayut membuat kami usaikan pendakian ini, “Bangun tendanya di sini aja yuk. Tapi hati-hati, tempatnya lumayan sempit.”

Kami menemukan tanah yang cukup datar dan lebar untuk membangun tenda. Memang sih tanah ini berada di jalur pendakian dan mungkin mengganggu pendaki lainnya. “Enggak apa-apa kok, asal pendaki lain tidak terlalu terganggu.”

Kami bertiga membangun dua tenda hijau ini. Dengan kapasitas per tenda maksimal 5 orang, saya akan tidur bersama Aldi. Kencangnya terpaan angin gunung jadi kendala. Selain kami jadi kedinginan, angin juga menerbangkan tenda kedua.

Kami berswafoto dengan latar hutan pinus Gunung Andong

20.17 WIB

Kedua tenda sudah dibangun. Sekitar sepuluh menit kemudian, kloter kedua tiba di posisi. Kami berenam pun bertukar cerita dan tertawa lepas dengan apa yang baru saja kami lewati.

Sedikit pose bersama sarung

***

Dipublikasikan pertama kali di www.tengara.co pada 1 Juli 2017.