Kongres Masyarakat Adat Nusantara : Kompromi Patriarki?

Oleh Rugun Moniaga Sirait

Entah mengapa, ketika diberi topik mengenai masyarakat adat dan tradisi saya akan teringat budaya patriarki yang kental. Salah satunya ketika mengingat ajaran dalam salah satu kelas kuliah saya yang menyebutkan bahwa garis-garis keturunan kelompok-kelompok masyarakat di wilayah nusantara adalah patrilineal, yang menganut matrilineal hanyalah orang-orang Minangkabau. Apa lagi yang mengingatkan saya akan budaya patriarkis? Oiya, politik. Bagaimana kalau keduanya digabungkan? Mungkin akan sedikit berbeda dari perkiraan awal saya. Selama belajar antopologi, saya dipertemukan dengan (tulisan-tulisan) Sherry B. Ortner yang menulis sebuah esai berjudul Is Female to Male as Nature to Culture. Esai tersebut membandingkan relasi laki-laki terhadap perempuan dengan kebudayaan terhadap alam. Maksudnya, laki-laki lebih memegang peran dalam kebudayaan, sementara perempuan lebih kepada alam. Kebudayaan dapat mengubah alam dan begitu juga sebaliknya yang nanti akan saya jelaskan lebih lanjut setelah bercerita.

#KMANV adalah sebuah hashtag yang harus saya sertakan dalam setiap tulisan selama kurun waktu satu minggu. Apa itu? KMANV atau Kongres Masyarakat Adat Kelima adalah kegiatan lima tahunan sekali yang diselenggarakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Kongres pertama mereka dilakukan pada tahun 1999 di Hotel Indonesia, pada saat itu saya belum dapat berpartisipasi karena masih berusia dua tahun. Sekarang, 18 tahun kemudian, selama KMANV pada tanggal 15 hingga 19 Maret kemarin saya mengajukan diri menjadi relawan. Kegiatan ini setiap lima tahunnya berganti “tuan rumah”, kali ini di Tanjung Gusta, Medan, Sumatera Utara. Dan tentunya tiap tuan rumah ini salah satu dari 2.332 kelompok masyarakat adat anggota AMAN. Selama hampir seminggu itulah saya bertugas di bagian infokom: menulis di media sosial dan laman daring AMAN.

Barisan Rakyat Penunggu atau Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) yang berlokasi di Tanjung Gusta ini adalah korban perampasan lahan yang telah berlangsung selama puluhan tahun, selama 70 -an tahun mereka berjuang untuk mendapatkan hak atas tanah yang sudah turun menurun diwarisi nenek moyang mereka. Kisah yang mereka miliki persis seperti sebagian besar kasus agraria yang menimpa masyarakat adat, antara berkonflik dengan perusahaan ataupun negara.

KMANV dibuka dengan sarasehan selama dua hari yang berisi panel-panel diskusi dan kemudian dilanjut malam hari dengan pentas seni. Tiga hari kemudian, 17, 18 dan 19-lah hari-hari pelaksanaan kongres yang sebenarnya. Saat itulah perwakilan anggota AMAN membahas AD/ART, menyatakan sikap politis dan juga memilih sekjen baru. Dalam tulisan ini saya ingin menceritakan pengalaman apik ini dan merefleksikannya dengan apa yang saya pelajari di kelas.

Agak sulit menerangkan situasi dari KMANV, di mana ribuan orang berkumpul, karena lokasinya bukanlah “kampung” pada imajinasi umumnya. Bukan kampung dengan rimbun pohon dan rumah-rumah dari kayu beratapkan sirap. Melainkan di tanah Tanjung Gusta yang lokasinya sangat dekat dengan Lembaga Permasyarakatan dan lahannya tandus. Ternyata, masyarakat Barisan Rakyat Penunggu juga baru menempatkan lahan (yang pada dasarnya milik mereka) pada empat tahun terakhir ini. Sebelum itu, lahan mereka lama digunakan sebagai perkebunan dan paling akhir sebagai lahan kelapa sawit. Kering dan berdebu, becek dan belumpurlah saat hujan. Lahan yang mereka tempati ini sangat luas, menurut saya, karena lokasi dari tiap kegiatan yang jauh dan dijangkau dari satu titik ke titik yang lainnya dengan kereta (atau angkot). Dari tenda utama ke panggung kesenian atau dari media center ke tenda registrasi dan penerimaan tamu, sangatlah jauh jaraknya dan lebih parahnya lagi tidak tersedianya peta ini membuat aktivitas mondar-mandir ke sana kemari menjadi sebuah tantangan.

Pada salah satu pemutaran film, saya bertemu dengan seorang pemuda Dayak yang telah pulang dari merantau dan berbakti di kampung halamannya. Ia telah selesai kuliah farmasi di UI dan mengabdi untuk kesehatan di kampungnya. Selain itu, ia juga mengajar tari di sanggar. Saya menceritakan padanya mengenai ketertarikan saya terhadap partisipasi anak muda yang berdarah campur (suku bangsa) dalam kegiatan pro masyarakat adat. Ia pun merespon dengan sangat baik, ternyata ia (juga) berdarah campuran tetapi lebih mengangkat identitas dayaknya karena lahir dan tumbuh di sana. Mungkin banyak juga di luar dari pemuda yang saya temukan yang berdarah campuran tetapi tidak mengangkatnya. Sangat menarik untuk mengetahui cara seseorang mengangkat identitas tradisionalnya pada khalayak umum.

Selama diskusi dan panel, peserta kongres: ibu-ibu, bapak-bapak, mas-mas, mama-mama dan adik-adik turut meramaikan tenda-tenda. Tiap tenda membawa suatu tema, misalnya kebebasan beragama, kelompok disabilitas dalam masyarakat adat, program pemberdayaan masyarakat, hingga pemutaran film pendek. Pada panel-panel itu saya berkenalan dengan relawan lainnya, yang mayoritas laki-laki (mahasiswa) dari kampus sekitaran Medan. Ada juga beberapa perempuan. Mungkin karena tidak banyak perempuan, kami jadi cepat dekat. Dalam diskusi-diskusi panel juga banyak bapak-bapak yang bersuara, tetapi perempuan tetap diberi kesempatan (khusus) untuk menanggapi panelis. Beberapa tahun belakangan ini, AMAN memiliki organisasi sayap bernama Perempuan AMAN. Dengan itu, mereka banyak memberdayakan perempuan adat dan meningkatkan suara mereka agar lebih didengar. Pembicaraan-pembicaraan yang lewat dalam angkot juga sangat cair antar anggota ataupun panitia, misalnya celetukkan seorang Mama dari Maluku kepada seorang bapak mengenai jalanan yang berlubang-lubang, pembicaraan lewat dengan tawa.

Setelah berlangsung kegiatan pra-kongres, kongres akhirnya dimulai pada hari ketiga. Pawai kebudayaan berlangsung sangat menarik, tiap-tiap anggota mengenakan pakaian adat mereka dan berjalan dalam kelompok sesuai asal mereka. Dari masyarakat adat Minahasa dengan tarian mereka, masyarakat adat Dayak dengan tato mereka yang khas, nyanyian-nyanyian dari kepulauan Indonesia Timur dan hentakkan kaki masyarakat adat Papua. Mereka berbaris memasuki ruang pertemuan utama, dimana barisan meja dan kursi telah disiapkan. Awalnya peserta duduk terpencar-pencar, hingga diingatkan untuk duduk sesuai region mereka masing-masing. Dalam hitungan puluhan menit, ratusan peserta memposisikan diri mereka sesuai regionnya: Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dst. Salah satu hal yang masih terkenang di kepala saya selama ini adalah saat kelompok mereka diabsen, mereka berdiri dan bersorak dalam jumlah yang besar. Saya menggigil, bulu kuduk saya naik dan saya kagum. Semangat mereka menunjukkan betapa berartinya perjuangan terhadap masyarakat adat bagi mereka.

Tata tertib selama kongres dibacakan, suasanapun mulai memanas. Sehingga dipilihlah pimpinan sidang, yang terdiri dari perwakilan daerah dan gender juga. Desas-desus mengenai calon-calon sekjen yang akan maju, beberapa nama muncul dan beberapa daripadanya adalah perempuan. Beberapa orang yang berbicara kepada saya mengatakan bahwa calon perempuan juga sadar akan budaya patriarki yang sangat kental, sehingga semangatnya maju tidak seberapa. Pembicaraan seperti ini awalnya sedikit miris bagi saya, tetapi akhirnya dapat saya maklumi. Setelah lewat satu-dua hari penuh dengan perdebatan mengenai AD-ART dan dihibur dengan pentas seni pada malam harinya, kongres harus memilih sekjen yang baru. Lima orang calon maju dan melewati pemilihan, akhirnya seorang perempuan Toraja terpilih, namanya Rukka Sombolinggi. Ia telah bekerja di AMAN sejak lama. Saya sejujurnya kaget, tapi sangat salut atas terpilihnya Kak Rukka sebagai Sekjen yang baru.

Relfeksi dari pengalaman lima hari tadi ingin saya relasikan dengan teori-teori gender. Dalam Teori-teori Feminis Kontemporer, disbutkan “Marxisme menawarkan analisis mengenai penindasan sebagai seusatu yang sistematis dan menyatu dalam struktur masyarakat”, disebutkan juga bahwa subordinasi perempuan adalah akibat kapitalisme dan patriarki. Sehingga dipertanyakan oleh Ortner: universalkah dominasi laki-laki? Pertanyaan ini secara tajam dijawab oleh Herietta L. Moore yang mengulas tulisan Ortner, “…it reminds us that there are still universal questions even if there are no universal answers”, katanya. Menarik sekali sewaktu membaca tulisan Ortner yang Is female to male as nature is to culture?(1974) yang kemudian ia ulas kembali 40 tahun setelah itu dalam So Is Female to Male as Nature Is to Culture?. Disitu sangat membuka mata saya bahwa keberadaan perempuan memang lebih dekat dengan alam dan laki-laki dengan kebudayaan. Perempuanlah pemberi kehidupan, ia melahirkan dan menyusui. Dalam tulisan pertama, ia menyatakan argument para determinis biologi yang menyatakan bahwa laki-laki naturally dominant sex dan juga bahwa “that “something” is lacking in females, and as a result women are not only naturally subordinate but in general quite satisfied with their position”. Walau, saya agak ragu dengan pernyataan terakhir bahwa adanya kepuasan perempuan dalam posisi tersebut. Beberapa argument penting lain yang ingin saya kutip adalah:

We may thus broadly equate culture with the notion of human consciousness, or with the products of human consciousness (i.e., systems of thought and technology), by means of which humanity attempts to assert control over nature.

Thus culture (i.e. every culture) at some level of awareness asserts itself to be not only distinct from but superior to nature, and that sense of distinctiveness and superiority rests precisely on the ability to transform — to “socialize” and “culturalize” — nature.


Keberadaan perempuan yang disamakan dengan alam dapat menjadi sangat mengecewakan. Sehingga dapat diatur, dikuasai atau bahkan dimodifikasi oleh kebudayaan. Posisi ini menekankan subordinasi perempuan. Apalagi bila dilihat secara tradisional atau melalui kacamata masayarakat adat. Tetapi memang, Moore mengingatkan kita bahwa hal ini tidak universal. Hanya saja, apa yang saya lihat selama hampir satu Minggu di Tanjung Gusta adalah demikian. Laki-laki, terutama dewasa, yang banyak “berkeliaran”. Bukan hanya untuk para tetinggi masyarakat adat, melainkan juga kepada para relawan. Kegiatan AMAN yang sangat organisatoris (lebih kebudayaan ketimbang alam) sangat didominasi laki-laki. Kemana-mana, saya kebanyakan bertemu dengan pemuda relawan. Padahal, hampir semua berasal dari kampus, yang artinya mereka pasti lebih berpendidikan. Menurut salah satu relawan perempuan bernama Novi, memang ternyata tidak banyak minat perempuan (sebayanya) kearah ini. Menurut Moniaga, “Few indigenous communities consider gender inequality a serious problem” sehingga dalam AMAN sendiri memang sejak kongres pertama diwajibkan adanya perwakilan satu laki-laki dan satu perempuan dari setiap provinsi sebagai dewan. Hal ini merupakan langkah yang sangat positif. Hal ini memangkas salah satu manifestasi ketidakadilan gender dalam tingkat organisasi, menurut Mansour Fakih (1994).

Ternyata, setelah saya mencari informasi mengenai masyarakat adat Toraja, saya mengutip tulisan Karin Klenke “Gender is a largely unmarked category in Toraja. While there is a gendered division of labour, it does not result in fixed hierarchies (Waterson 2009:242). The main axis of social inequality in Toraja runs along the lines of stratification, not gender.” Ternyata, kemenangan Rukka Sombolinggi bisa saja dipandang tidak begitu special dalam masyarakat adat Toraja, tetapi merupakan satu langkah yang besar bagi masyarakat adat Nusantara yang dapat menerima perempuan sebagai pemimpin mereka. Mengutip dari Second Sex (de Beauvoir, terj. 2016) “barangkali seandainya kerja produktif tetap berada dalam kekuatan perempuan, ia mungkin akan melakukan penaklukkan atas alam bersama-sama dengan laki-laki”. Kebersamaan ini ditekankan oleh de Beauvoir, padahal beda zamannya dengan Ortner yang mempertanyakan female to male as nature is to culture. Toh pada akhirnya ia mengakui bahwa tulisannya terlalu strukturalis dan tentu zaman sudah berkembang dan kemungkinan ia juga salah, katanya dalam “So, Is female to male as nature is to culture?”. Kita perlu melihat bahwa adanya tren nasional terhadap kepemimpinan perempuan. Mulai dari gerakan masyarakat adat, seperti Mama Aletta, Para Kartini Kendeng (Ibu Gunarti, dkk) atau juga pada kepemimpinan LSM-LSM nasional yang diketuai perempuan, seperti WALHI danYLBHI.

Mungkin memang sudah waktunya untuk lepas dari romantisme tradisional, karena tanpa dipungkiri hirarki dan opresi dalam masyarakat adat sendiri masih terlihat, menurut Davin Bourchier. Ataupun agenda menggunakan nama masyarakat adat untuk kepentingan ekonomi atau politis. Mungkin hal itu akan terhindar karena selama ini kepemimpinan AMAN dibawah tangan lelaki, siapa tahu hal ini terhindar dengan kepemimpinan perempuan. Mendatangkan harapan baru kedepannya, perlahan menghapus manifestasi ketidakadilan gender dan juga kelompok masyarakat yang termarjinalkan seperti dalam cerita ini, masyarakat adat. Semoga juga penghapusan manifestasi ketidakadilan gender dapat dilakukan dari kelompok-kelompok yang lebih kecil, misalnya dalam keterlibatan perempuan adat muda atau juga relawan perempuan. Toh sekarang, Perempuan AMAN (bagian dari AMAN) sudah menjadi organisasi yang lebih aktif dan kokoh. Pengalaman lima hari di lapangan ini saya merasa banyak mendapat pelajaran baru dan menarik.

***

Referensi:

[1] Sandra Moniaga, Op. cit. p. 285

[2] Karin Klenke. Whose adat is it? Dalam Adat and Indigeneity in Indonesia: Culture and Entitlements between Heteronomy and Self-Ascription (Göttingen Studies in Cultural Property, Volume 7).p.153

***

Penulis:



Rugun Sirait adalah seorang mahasiswi Antropologi Budaya yang tertarik dengan tema-tema gender, musik dan lingkungan. Mungkin namanya sendiri yang berarti pohon rindang mendukung hal-hal kegemarannya tadi