Sejati Deso dan Tenun Stagen: Melihat Kisah Para Penenun Tradisional Stagen Yogyakarta

Oleh Tangguh Adi Wiguno

 “Ya biasanya saya ngumpulin dari penenunnya disini, setelah itu nanti ada pengepul yang mengambil, satu stagen biasanya 20 ribu sampai 25 ribu”

— Marsiyem, Pengepul Tenun Tradisional

Fajar menyingsing di tengah dinginnya suasana pagi hari di Dusun Sejati Deso, Yogyakarta. Pagi hari itu saya bersama lima orang teman memiliki agenda untuk berkunjung ke salah satu sentra tenun tradisional yang ada di Yogyakarta. Berjarak kurang lebih sekitar 45 menit dari pusat kota Yogyakarta, kami bersepakat untuk berangkat sendiri dari tempat tinggal masing-masing.

Hari itu cuaca nampak bersahabat, langit berwarna biru cerah dan diselingi oleh beberapa awan putih yang sesekali nampak terlihat. Sentra tenun tempat kami akan berkunjung adalah sebuah dusun yang terletak di daerah Moyudan, Sleman, Yogyakarta. Dusun Sejati Deso merupakan bagian dari wilayah Desa Sumber Arum yang memiliki luas sekitar 765 Ha. Dusun Sejati Deso merupakan salah satu wilayah yang terkenal dengan produksi khas tenun tradisional Jawa, yakni Stagen.

Tenun Stagen merupakan tenun tradisional khas Jawa. Kekhasan ini nampak pada beberapa acara adat, baik itu pernikahan, aqiqahan, maupun sunatan (bagi anak laki-laki) yang kesemuanya seringkali mengharuskan pemilik acaranya menggunakan tenun stagen sebagai bagian dari cara berbusana. Stagen jika ditinjau menurut bentuk fisiknya merupakan kain dengan lebar 10–20 cm dengan panjang bisa mencapai 10–20 m. Stagen biasanya dikenakan di bagian perut, baik itu wanita maupun pria, ketika mengenakan pakaian adat Jawa.

Warga Dusun Sejati Deso, khususnya perempuan, mayoritas memiliki alat tenun tradisional di rumahnya, sebagai pekerjaan sampingan selain bertani atau menambang pasir. Tradisi menenun telah lama diwariskan di Dusun Sejati Deso. Hal tersebut nampak pada lawasnya cara dan mesin-mesin tenun yang masih digunakan.

Hari itu kami berkunjung ke beberapa kediaman warga untuk sekadar mengumpulkan informasi berkaitan dengan tenun tradisional stagen. Diantaranya kami berhasil mewawancari Bu Marsiyem, selaku pengepul tenun, dan Mbak Sum sebagai salah satu pelaku tenun tradisional stagen yang masih aktif memproduksi hingga saat ini. Dari dua narasumber penenun tersebut, saya bersama lima teman lain berhasil mendapatkan kisah-kisah menarik mengenai tenun tradisional stagen di Dusun Sejati Deso.

Melakukan Inovasi

Tenun Stagen tradisional biasanya berwarna hitam pekat, namun apa yang telah dilakukan oleh para penenun di Dusun Sejati Deso tergolong cukup menarik. Tenun hitam tersebut kini berganti wajah perlahan dengan memunculkan pola atau corak warna sebagai alternatifnya. Pola merah, biru, hijau, atau kuning menjadi pola-pola atau corak warna baru yang kini sering disematkan ke dalam warna tenun stagen.

Corak-corak tenun ini kemudian dikembangkan lebih jauh lagi dengan tidak hanya berbentuk persegi panjang pada umumnya (lebar 10 cm dan panjang 20 cm). Tenun-tenun bercorak warna tersebut dikembangkan ke dalam produk-poduk lain seperti gelang tangan, saku baju, maupun selendang-selendang aksesoris pelengkap pakaian semi-formal.

“Kalau yang gelang-gelang kecil ini harganya 5 ribu, kalau buat yang tas-tas ini harganya 30 ribu, tapi kalau mas dan mbaknya mau pesan sendiri desainnya juga bisa.”

- Mbak Sum, Penenun Stagen

Inovasi-inovasi ini menurut penuturan Mbak Sum diperoleh beberapa tahun silam setelah adanya komunitas yang melakukan kegiatan pemberdayaan kepada para penenun tradisional. Inovasi-inovasi tersebut dilakukan dalam upaya untuk lebih meningkatkan nilai jual baik secara kualitas maupun kuantitas dari tenun tradisional stagen.

Akan tetapi, meskipun telah dilakukan pengembangan sedemikian rupa terhadap olahan produk yang dihasilkan, ternyata masih banyak dari penenun tradisional yang merasa “takuk-takut” untuk memproduksi tenun bercorak. Alhasil proses pengembangan tenun pun kembali jalan di tempat seperti sebelumnya.

Pengepul dan Ketakutan Merugi

Para penenun tradisional di Dusun Sejati Deso hingga saat ini masih tergantung dengan peran tengkulak atau para pengepul tenun. Tenun-tenun yang telah selesai digarap biasanya dikumpulkan oleh salah seorang pengepul sementara lalu diambil oleh para pengepul yang biasanya langsung menjual hasil tenun di pasar.

Bu Marsiyem merupakan salah satu dari warga desa yang menjadi pengepul sementara dari tenun-tenun hasil karya warga desa. Tenun-tenun hasil karya tersebut dikemas ke dalam beberapa bendel tenun yang biasanya setiap bendel berisi lima tenun stagen. Dari tiap-tiap bendel tersebut, para pengepul “asli” akan mengambil lalu menjualnya di pasar atau menawarkannya kepada para pedagang pakaian di pasar-pasar kawasan Yogyakarta.

“Ya biasanya saya ngumpulin dari penenunnya disini, setelah itu nanti ada pengepul yang mengambil, satu stagen biasanya 20 ribu sampai 25 ribu”

— Bu Marsiyem, pengepul stagen.

“Kok yang (tenun) warna gak ada bu?” tanya saya kepada Bu Marsiyem.

“Kita gak berani mas kalau yang (tenun) warna, (pengepul) yang ngambil gak berani jual soalnya, takut gak laku dijual,” jawab Bu Marsiyem mantap.

Memang masih menjadi masalah terkait dengan bagaimana pola penjualan yang pas untuk hasil tenun corak. Sejauh ini penjualan tenun corak atau berwarna memang sudah mulai berjalan lancar, namun apabila ditinjau dari kuantitasnya masih kalah jika dibandingkan dengan tenun polos hitam. Pasar atau konsumen dari tenun corak belum berkembang dengan baik, alhasil para penjual tenun pun tak mau ambil resiko dan tetap memilih untuk menjual tenun-tenun polos yang sudah pasti konsumennya.

Misi Menenunkan Desa Wisata

Di tengah geliat penenun tradisional stagen yang mengalami problem dilematis antara berinovasi secara liar dan total dengan tenun corak atau masih bertahan dengan tenun polos, warga Dusun Sejati Deso ternyata juga mengemban misi lain. Menjadikan Dusun Sejati Deso sebagai salah satu kawasan desa wisata.

Pengaruh dari banyaknya desa yang kemudian berkembang menjadi desa wisata di kawasan D.I. Yogyakarta memang tidak bisa dikesampingkan kepada misi pembentukan desa wisata oleh warga Sejati Deso. Berbekal potensi lokal yang telah menjadi warisan dari generasi ke generasi, warga bergotong-royong membentuk Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata). Upaya tersebut merupakan bentuk dari keseriusan untuk mengembangkan desa wisata.

Potensi-potensi yang menjadi andalan desa sejauh ini jika dicermati menurut penuturan dari warga, baik pengurus maupun non-pengurus Pokdarwis, ialah terdiri dari potensi alam dan produk unggulan. Potensi alam terdiri dari sungai progo yang mengalir melintasi kawasan dusun dan hamparan sawah lapang. Dua potensi ini, menurut penuturan warga sering digunakan sebagai area praktik bagi wisatawan yang berkunjung ke dusun. Kemudian ada produk unggulan, diantaranya ada tenun tradisional dan makanan khas warga Sejati Deso.

Potensi-potensi tersebut oleh warga, berusaha dikembangkan dan diberdayagunakan sehingga memiliki nilai jual ekonomis sehingga dapat membantu perekonomian. Proses menenun desa wisata oleh warga dusun Sejati Deso sejauh ini masih mengalami banyak tantangan, tidak semudah menenun tenun stagen tradisional yang telah menjadi warisan turun-temurun.

Harapan Menjadi Mandiri

Tak dapat dimungkiri jika proses menenun baik dalam corak polos ataupun berwarna-warni selalu membutuhkan fokus, tenaga, dan waktu berlebih. Mendengar cerita dari para pelaku tenun yang masih aktif di Dusun Sejati Deso, ada sedikit harapan dari mereka untuk bisa memandirikan daerahnya. Melalui upaya mendobrak ketidaklaziman tenun stagen menjadi bercorak warna-warni, lalu usaha menggiatkan dusun sebagai desa wisata hingga tantangan dari para pengepul yang enggan menjual tenun corak telah menjadi bagian dari cerita harapan-harapan warga dusun Sejati Deso.