![]() |
Jogjakarta merupakan kota dengan kawasan sub-urban yang besar. Besarnya potensi ekonomi, sosial, dan budaya di kota ini menjadikan Jogjakarta dipadati oleh pendatang maupun komuter dari wilayah penyangga. Meningkatnya kepadatan Jogjakarta berimplikasi pada meningkatnya kepadatan lalu lintas di sekitarnya.
Jalan berfungsi bagai arteri. Apabila arus semakin padat namun tidak diimbangi dengan pelebaran dan rekayasa lalu lintas, maka dapat dipastikan Jogjakarta akan mengalami berbagai dampak yang disebabkan oleh kemacetan lalu-lintas.
Untuk menanggulangi kepadatan lalu-lintas, pemerintah kota Jogjakarta menyediakan TransJogja sebagai alternatif solusi moda transportasi umum, massal, cepat, dan murah.
Tilik Fakta:
- Pada September 2016 lalu, Ditlantas Polda DIY melansir ada 84.312 kendaraan baru di Jogjakarta,
- Pertumbuhan kendaraan pribadi meningkat rata-rata 7.9% per tahunnya,
- Hingga saat ini, sudah ada 2.2 juta unit kendaraan berlalu-lalang di DIY.
TransJogja merupakan wujud penerapan program bus rapid transit yang diinisiasikan pada Maret 2008 oleh Dinas Perhubungan, Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dikelola oleh PT. Jogja Tugu Trans (JTT) sebagai wujud konsorsium empat koperasi transportasi angkutan lokal yakni Koperasi Pemuda Sleman, Aspada, Kopata, Puskopkar, dan Perum DAMRI.
![]() |
Dampak kependudukan terhadap sistem transportasi |
Meskipun sudah beroperasi selama 9 tahun, rupanya TransJogja tidak terlepas dari carut-marut penyediaan transportasi publik. Sebagian besar pengguna menilai TransJogja sudah tidak efektif dan efisien lagi dalam membantu mobilitas para pengguna. Evaluasi yang rutin dilakukan rupanya tidak serta-merta melepaskan TransJogja dari rundungan masalah. Terbatasnya armada dan kurangnya peremajaan menjadikan pelayanan TransJogja tidak lagi optimal. Selain itu, tidak adanya jalur khusus yang dimiliki menyebabkan waktu tempuh yang lama.
Hingga saat ini, TransJogja memiliki lebih dari 200 shelter portabel dan halte yang terletak di penjuru kawasan urban Jogja. Walau begitu, minat masyarakat untuk menggunakan transportasi umum yang satu ini masih cukup rendah oleh sebab faktor yang mempengaruhi kenyamanan, keamanan dan kecepatan dalam proses mobilitas.
![]() |
Kapasitas angkut Trans Jogja |
Berdasarkan tesis yang disusun oleh Hasrul dari Magister Perencanaan Kota dan Daerah (MPKD) Universitas Gadjah Mada, dari 120 responden yang dijadikan sampel menyoal aksesibilitas halte TransJogja, 71.7% menyatakan halte mudah untuk dijangkau. Tesis pada tahun 2010 oleh Vivi Anita, mahasiswi Teknik Sipil Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) mengevaluasi kinerja TransJogja yang mengacu pada standar World Bank, Peraturan Pemerintah, dan Departemen Perhubungan. Hasilnya, pelayanan TransJogja masih belum efektif dan berada di bawah pelayanan trasportasi umum rata-rata nasional.
Strategi Kebijakan untuk Trans Jogja
Giannopoulos (1989) memaparkan bahwa public transport termasuk bus memiliki komponen-komponen pokok yang mana berfungsi menopang kesuksesan sistem transportasi publik tersebut. Pada kasus ini, keberadaan halte, kondisi bus, dan rute/jalur menjadi komponen vital. Ketiganya mempengaruhi tingkat aksesibilitas para pengguna untuk melakukan perjalanan (dengan indikator jarak, waktu, dan biaya) serta bagaimana reaksi pengguna untuk pemanfaatan berikutnya.
Kebijakan yang hendak diterapkan pada operasional TransJogja ada baiknya melibatkan berbagai pihak yang ada di dalamnya. Manajemen, pemerintah daerah, dan pengguna ikut dalam diskusi sehingga dapat menghasilkan keputusan bersama. Dalam teori pilihan publik, faktor supply-demand (pertukaran) dan kelembagaan dipandang penting. Samuel & Nordhaus berpandangan keputusan yang diambil pemerintah haruslah memprioritaskan kepentingan publik. Beberapa kekurangan yang ada dalam operasional TransJogja bisa diselesaikan dengan melakukan dialog dua arah. James Buchanan menyarankan pemerintah untuk menggunakan pendekatan catallaxy dengan menawarkan perubahan kebijakan terkait TransJogja kepada masyarakat sebagai pembeli kebijakan publik. Pendekatan ini bersifat imbang karena berusaha meminimalisir kerugian yang mungkin diterima oleh satu pihak karena tidak adanya diskusi kebijakan. Pihak yang paling terdampak pada kasus ini adalah pengguna dan operator/manajemen TransJogja.
Rekomendasi untuk Keberlanjutan Trans Jogja
Apabila pengelolaannya baik, TransJogja dapat dipastikan menjadi transportasi publik primadona bagi masyarakat urban Jogja. Akan tetapi, pembenahan perlu dilakukan baik di tingkat manajemen maupun operator pelaksana. Oleh karena itu, penulis memberikan beberapa rekomendasi supaya tujuan difungsikannya TransJogja menjadi efektif, diantaranya:
- Menambah jumlah armada secara bertahap, rutin melakukan peremajaan dan reparasi karena bus harus bekerja setiap hari, serta meningkatkan kesiapan kru bus dengan simulasi ketika menghadapi kondisi tertentu.
- Melakukan rerouting agar TransJogja dapat melayani rute-rute sibuk dan melayani lebih banyak penumpang. Rerouting disarankan untuk mengikuti analisa tingkat densitas arus utama para pengguna jalan raya supaya tergerak beralih ke transportasi umum.
- Menambah jumlah shelter & halte di lebih banyak titik strategis (kawasan padat penduduk, zona pendidikan, tempat-tempat wisata, kawasan bisnis dan perdagangan), mengubah sistem ticketing supaya lebih praktis, menam-bah ekstensi dan fasilitas di halte beru-pa tempat parkir untuk motor dan sepe-da (terutama halte feeder), papan infor-masi posisi terkini bus disertai waktu tunggu, serta fasilitas yang memudah-kan konsumen berkebutuhan khusus (misal: difabel).
- Pengurangan kemacetan tidak akan berhasil hanya dengan mengoperasikan TransJogja, diperlukan regulasi yang turut mengikat penggunaan kendaraan pribadi (misal: insentif pajak).
***
Bagian ini saya ubah, saya tambahkan beberapa saran berikut:
- Bila memungkinkan, armada TransJogja diubah menjadi bus lowdeck serta ditambahkan layanan laiknya Metro Trans Jakarta supaya dapat disesuaikan dengan kultur masyarakat setempat yakni midun/mandheg sak nggon-nggon.
- Pengintegrasian dengan program lain pemerintah untuk memaksimalkan pelayanan angkutan. Misalnya bagi peserta BPJS Ketenagakerjaan mendapat potongan tarif hingga setengahnya.
TransJogja bertanggungjawab dalam menjamin hak-hak konsumen (pengguna TransJogja). Aturan ini tercantum jelas dalam pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Selain beberapa saran di atas, penulis menambah beberapa saran lanjutan supaya TransJogja mampu berekspansi demi melayani khalayak umum yang lebih luas. Beberapa ekspansi tersebut diantaranya:
![]() |
Trans Jogja khusus wanita |
Pengadaan TransJogja khusus wanita bisa diadakan untuk melindungi perempuan dari kasus pelecehan dan tindak kriminalitas lainnya yang kadang terjadi di dalam angkutan umum. Bus didekorasi dengan warna khusus supaya dapat dibedakan dengan bus lainnya.
![]() |
Bus Kampus Trans Jogja |
TransJogja menjadi penyedia sekaligus operator bus kampus sehingga dapat menciptakan integrasi antar moda transportasi berbasis BRT dalam satu manajemen. Rekomendasi ini terutama ditujukan bagi kampus-kampus besar di Jogja seperti UGM — UNY (digabung), dan melayani penggunaan kartu mahasiswa (integrasi dengan sistem ticketing dari TransJogja itu sendiri).
![]() |
Bus Pengumpan Suburban Trans Jogja |
Ada baiknya TransJogja mulai berekspansi ke wilayah penyangga supaya dapat mengintegrasikan lebih banyak moda transportasi berbasis BRT. Ekspansi dapat dilakukan secara persuasif dengan mengajak dan membina operator bus swasta lokal untuk bergabung.
![]() |