Sebenarnya, pos yang ini sambungan dari pos sebelumnya: Dieng, “Minus Tiga Derajat”.
Saya tidak ingat apa yang pasti terjadi setelah mobil beranjak pergi dari Sikunir. Jikalau ingat, hanya beberapa: tenda-tenda berwarna cerah di sekeliling Telaga Cebong yang merefleksi latar pegunungan Dieng, seorang bapak penjual syal dan topi hangat yang saya tolak, dan snek kentang kedua saya. Mobil ini pun sudah tiba di destinasi kedua yang memang masih di kawasan Dieng Plateau. Kawah Sikidang sudah menguatkan identitasnya dengan bau belerang yang tercium hingga satu kilometer jauhnya.
![]() |
Cinta, sedikit gugup berfoto dengan burung hantu |
Kaki saya sedikit lemas hingga tak begitu mampu menopang badan. Maklum, seharusnya pendakian Sikunir dini hari tadi dimulai dengan pemanasan singkat terlebih dulu. Tapi berhubung dikejar waktu dan khawatir kehabisan tempat di puncak karena saking ramainya, bak lari marathon hingga garis akhir.
***
Kawah Sikidang, begitulah tempat ini disebut. Dinamai demikian karena kawah belerang di kawasan ini sering berpindah-pindah, bahkan dalam waktu singkat sehingga masyarakat Dieng menganalogikannya seperti kijang, nama binatang yang masyarakat Dieng menyebutnya sebagai ‘kidang’. Kawah ini tercatat pernah berpindah-pindah tempat sebanyak 5 kali di area ini lho.
![]() |
Sumber daya panas bumi melimpah di kawasan Dieng, Wonosobo |
Tempat ini masih sama ramainya dengan Puncak Sikunir, hanya saja pengunjung disini umumnya ingin mencoba telur rebus yang direbus langsung dengan air belerang, atau sekedar mencari pengobatan alternatif. Ya, belerang dikenal dapat menyembuhkan berbagai penyakit kulit. Kawah Sikidang yang utama adalah lubang kawah dengan pagar di sekelilingnya, jadi pengunjung tidak bisa seenaknya merebus telur karena memang berbahaya. Tapi untuk merebus telur bisa dilakukan di kawah sekunder kok — kawah-kawah kecil yang tersebar sporadik di kawasan ini.
Semula kami berencana membawa telur dari Jogja untuk direbus di sini. Tapi rupanya kami harus membayar lagi, dan di sini pun juga dijual telur rebusan dari kawah. Akhirnya kami urung untuk merebus telur yang dibawa, heheu.
![]() |
Proses perebusan telur memanfaatkan kalor dari belerang |
Untuk mencapai kawah belerang yang sudah terlihat dari pintu masuk dengan kepulan asapnya, hanya ada satu jalan. Di sisi kiri berjejeran stan penjual kuliner dan oleh-oleh khas Dieng. Mulai dari jamur goreng, telur rebus (belerang), semur kentang, batu-batu karang, buah dan aneka olahan carica, dan bahkan Purwoceng — suplemen stamina untuk pria supaya lebih lama ngaceng saat bercinta. Purwoceng yang merupakan ekstrak memang dipercaya menambah stamina dan vitalitas pria saat bercinta. Umumnya berbentuk serbuk, sehingga Purwoceng kerap digunakan sebagai tambahan pada susu maupun kopi. Selain Purwoceng, belerang disini juga dijual dalam kemasan bubuk bagi siapa saja yang ingin mengobati penyakit kulit secara alami. Sedang di sisi kanan, beberapa burung hantu bertengger di dahan kayu kering dan bersedia untuk diajak berswafoto, atau dengan kuda dan koboi Dieng yang mirip dengan film-film The West (bukan West Bank, beda). Ada juga motor cross dan ATV yang terparkir dan siap menguji adrenalin siapa saja yang menantang trek Sikidang, tentu dengan membayar terlebih dahulu, hehe.
![]() |
Olahan Carica, buah khas yang hanya ada di Dieng |
“Jun, aku pengen foto bareng burung hantu,” celetuk Cinta di samping saya.
“Oh, yaudah. Cuma goceng tuh, sini-sini gue fotoin Cin.”
Tapi Cinta mengurungkan keinginannya itu.
***
Bau belerang semakin menyengat, “Peh, baunya ~” Saya menutup hidung dan memalingkan wajah ke kanan. Mendadak, ada satu ‘pemandangan’ tidak umum disini. “Mas, mas Elvan. Lihat kesitu deh,” tunjuk gue ke arah kanan. Tak lama, kami semua tertawa. Ya tahulah kenapa sebabnya:
![]() |
Salah satu kuda yang disewakan untuk menjelajahi Sikidang, sedang ereksi |
Sembari menyetel musik dari Spotify, saya merebahkan diri ke atas bebatuan clay sambil memandang angkasa. Terik sih sebenarnya, cuma walau jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi, hawa dingin menang dari matahari. Iklim pegunungan rupanya mendominasi, angin berhembus membawa hawa sejuk kemari. Pohon cemara mendominasi pemandangan (lagi), dengan dua buah pipa besar –mungkin untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi– yang membelah perbukitan. Awan yang bergerak cepat menandakan kami sangat dekat dengan lapisan langit pertama: troposfer.
Di kejauhan, terlihat pipa gas — mungkin, dari PLTU Geotermal Dieng yang membelah hutan jarum. Pipa gas itu melintang di atas jalan, membuat kesan mirip dengan film-film berlatar negeri Paman Sam. Asap membumbung tinggi di atas kawah, bau belerang kuat apabila kita berada diantaranya. Manusia-manusia ramai mengelilingi kawah itu, sembari berharap membawa jaring kerucut dengan beberapa telur di dalamnya.
![]() |
Hilda dan Syahrial, saling memunggunggi |
***
Tak perlu berlama-lama di Kawah Sikidang karena semakin siang, tempat ini semakin dipadati oleh wisatawan. Kebanyakan kunjungan ke Kawah Sikidang adalah tur karyawisata anak-anak SMP-SMA untuk mengenalkan subbab dalam geografi yakni litosfer. Beberapa rombongan tur wisata dari Jawa Barat — yang didominasi orang tua, berfoto ria, merasa tak terganggu dengan banyaknya orang dalam bingkai di latarnya. Walau ramai, kawasan Kawah Sikidang masih menyisakan spot-spot fotogenik dengan latar alam. Kami bergegas menuju tempat parkir.
![]() |
Rombongan wisatawan silih berganti berswafoto dengan latar kawah |
“Jun, pegangin kameraku. Kamu fotoin aku ya,” mendadak Cinta mendatangi mas-mas –entah pemilik atau penjaja– burung hantu dan membayarnya dengan selembar rupiah cokelat. Saya pun dengan sigap memotret Cinta yang berpose dengan si burung hantu. Huwalaa, gagahnya. 😊
Perhatian:
Kami memijakkan kaki di atas tanah podzol berwarna kuning keemasan. Apabila hujan, berdiri di tanah jenis ini jelas berbahaya. Selip dan terbentur di atas bebatuan bisa jadi mematikan.
***
Pertama kali diterbikan di www.tengara.co pada 16 Juni 2017.