Dieng, 'Minus Tiga Derajat'
Dia adalah nama sebuah tempat, berada nun jauh di puncak, tempat peradaban berlangsung sejak milenial kedua. Masyarakatnya ramah, mengikuti ritme hembus angin yang mengarahkan rotasi kehidupan di dalamnya. Dieng, siap menyihir siapa saja yang menikmatinya.
Malam itu jam sudah membentuk sudut siku-siku. “Seharusnya kita sudah berangkat sekarang,” gumam saya pada rombongan kecil ini. Ya, kami bertigabelas menyempatkan diri untuk menyambangi negeri kayangan itu. Rencana ini sebenarnya terdengar sedikit gila mengingat beberapa hari ke depan kami akan menghadapi ujian akhir semester, yang terkenal runyam tentunya. Beberapa tugas paper hingga materi UAS masih teronggok di sudut kamar. Sedang sang empunya justru melipir jauh ke Dieng.
![]() | |
|
Kali ini ada saya, Ulfah Heroekadeyo, Devina Prima, Arif Wahyu, Elvan Susilo, Neraca Cinta, Candra Kirana, Budi Utomo, Devi Aprillia, Ikhsan Kurniawan, Ahmad Syahrial, Hilda Rahmasari, dan Rafdian Ramadhan yang ikut serta ke Dieng.
Untuk mencapai Dieng, dari Jogja kami menyewa mobil Avanza seharga Rp. 300.000/hari*. Berhubung tiap mobil kami berenam, biaya sewa jatuh lebih murah.
Sepanjang perjalanan, musik dari radio FM berulang kali berganti. Di Jogja, kami mendengarkan Prambors FM, namun berganti begitu tiba di kota berikutnya. Magelang — Temanggung — Wonosobo saya lewatkan dengan hanya tidur bersandar pada jok belakang. Kondisi jalan yang buruk di Wonosobo sesekali membuat saya terantuk dan terbangun.
Tiga jam saya terlelap, saya mulai terjaga begitu hawa dingin menyeruak. Mas Elvan sengaja mematikan AC mobil dan menggantikannya dengan udara luar. Tapi, sedikit saja jendela dibuka, dinginnya sudah bikin tidak tahan. Dieng yang terletak jauh dari hiruk-pikuk kota besar seperti Semarang dan Jogjakarta membuatnya bersih dari polusi udara, bahkan polusi cahaya. Langit yang cerah, ditambah benderangnya cahaya purnama dengan sedikit taburan bintang, membuat saya manja memandanginya. 😊
Malam yang gelap. Jalan menuju Dieng umumnya berliku tajam, sempit, dan menanjak. Di sebelah kanan kami -entah apa disana- awan menyelimuti sisi luar pagar pembatas. Sepertinya mobil ini tengah melaju di jalanan bibir tebing. Awan yang tebal menjadi pertanda tebing ini sangat tinggi, dan perlu diwaspadai kantuk saat berkendara di malam hari. Saya was-was kalau Mas Elvan mengantuk, bisa jadi saya batal ikut ujian semester.
![]() |
Perapian menjadi spot favorit para wisatawan, kayu bakar dijual di sini |
Tak lama kemudian, tibalah kami di pos retribusi. Dua orang petugas dengan jaket kulit hitam mereka menyapa kami melalui kaca pengemudi. Beliau menyodorkan kertas yang bertukar lembaran rupiah kami. Untuk memasuki kawasan Dieng, masing-masing dari kami kena charge Rp. 10.000.
Mobil kembali berjalan. Kali ini jalan benar-benar datar. Mungkin kami sudah tiba di kawasan Dieng yang notabene adalah lembah diantara dua kabupaten. Mobil kini berbelok ke arah perkampungan padat. Di kiri-kanan, banyak berdiri losmen sekaligus masjid. “Lah, masjidnya ada banyak banget?” Mas Elvan menimpali, “Beda-beda golongan Jun.”
Lima jam perjalanan, kami sampai di Basecamp Sikunir. Ya, kami akan mendaki Puncak Sikunir terlebih dahulu untuk menikmati indahnya sunrise berlatar lanskap pegunungan Jawa Tengah. Saya keluar mobil. Tak perlu menghitung mundur, dinginnya udara membuat hidung sedikit beku dan menusuk tulang belakang. Brrr... Sial, saya salah kostum.
***
“Rute pendakian baru dibuka pukul 3 pagi, dek,” ujar bapak paruh baya penjual jagung bakar. Kami masih memiliki waktu 45 menit untuk sekedar bergumul di dekat anglo/perapian, atau lari-lari kecil untuk menghangatkan badan. Tak lama setelah kami tiba, beberapa mobil berpelat (mayoritas) AB ikut mengisi basecamp Sikunir ini. Mobil-mobil ini parkir sejajar. Dan setelah dilihat-lihat, “Sial, mobilnya charteran semua!” ketawa saya sedikit terpingkal. Mobil-mobil ini mereknya sama. Kalau bukan Toyota Avanza, ya Daihatsu Xenia. Dengan pelat sama. Dominan AB. Dan warna yang sama. Hitam dan putih. Hingga saat ini, belum ada mobil selain kedua merek ini. :v
![]() |
Deretan mobil Avanza - Xenia berpelat Jogja |
Sirine berbunyi. Seseorang berbicara melalui pengeras suara. Pertanda bahwa sekarang pukul 3 pagi, dan pengunjung sudah bisa untuk memulai pendakian ke puncak Sikunir.
***
Bagai lari marathon, seluruh pendaki memadati satu-satunya jalur pendakian menuju puncak. Sedikit tergesa-gesa, saya tetap harus waspada karena medan pendakian berbatu cadas yang basah oleh embun pagi. Ada yang berhenti sembari menunggu teman yang tertinggal, ada juga yang menarik nafas dalam-dalam.
“Keramean.”
Apa?
“Sekarang rame banget,” keluh Hilda. Pendakian yang saat ini memang terlampau ramai. Berkembangnya media sosial memang membuat Sikunir populer. Akan tetapi, kuotasi dibutuhkan untuk membatasi over capacity di Sikunir, seharusnya.
![]() |
Antrean para pendaki menuju Puncak Sikunir |
Tak berapa lama, kami tiba di puncak pertama. Dari puncak ini, sepertinya matahari terbit tidak akan terlihat. Ada puncak kedua yang juga puncak utama, lebih tinggi, dan menghalangi pandangan dari puncak ini. Segera kami bergegas menyusuri paruh pendakian menuju puncak utama. Trek pendakian sedikit becek, berlumpur. Beberapa pendaki terpeleset dan terjerembab ke rerumputan: terindikasi salah kostum, hehe. 😜
Puncak utama. Disini semua pendaki bagai penguin. Benar-benar seperti P E N G U I N: duduk-duduk di dinginnya tanah, menahan hawa dingin yang dibawa angin, berkumpul rapat demi menghangatkan kaki. Di atas bukit ini seharusnya ada sebuah pendopo mengarah ke ufuk timur. “Sebentar,” saya berusaha mencari pendopo itu. Dan benar, pendopo itu masih ada di posisinya, tapi sudah rubuh — rata dengan tanah. Hmm ☹
![]() |
Mari bergumul bagai penguin Antartika |
Kami tiba di puncak dan ‘saling menghangatkan’. Kalau sudah begini, ingin rasanya dipeluk/memeluk siapa saja yang rindu pelukan. Ya, siapa saja. Saya sendiri juga salah kostum, hehe. Sudah tahu pergi ke ‘kayangan’, tapi masih saja kaki beralaskan sandal.
![]() |
Devi sedikit terengah-engah melalui tanjakan nan curam |
Brrrr …
Satu jam, berkumpul bagai penguin, detik-detik yang dinantikan tiba: matahari terbit. Rupanya dari Puncak Sikunir, kami bisa melihat dengan jelas dimana Sindoro, Sumbing (jelas), Merbabu, Merapi, hingga duo Andong dan Telomoyo berada. Keenamnya begitu indah memanjakan mata, menggetarkan hati. Di sebelah barat, Gunung Slamet tidak begitu terlihat. Saya hanya melihat ada kilatan petir menyambar di puncaknya. Mungkin sedang hujan?
![]() |
Terbitnya mentari pagi yang sedikit terhalang lapisan awan |
Langit yang semula gelap, perlahan menciptakan gradasi dengan warna ekstrem kuning menuju ungu. Semua mata memandang, semua lensa merekam kenangan. “Uuuh, indahnya.” Bunga-bunga edelweiss pun merekah. Kuncupnya meteskan embun yang berlindung di dalamnya. Udara segar segera mengisi paru-paru saya. Oksigen-oksigen baru segera terikat dan didistribusikan di dalam liver. Duh, berbeda 180° dengan di kota. Sama sekali berbeda.
***
Puncak Sikunir barulah satu dari sekian tempat yang akan kami kunjungi di Dieng. Sayang sekali, belum puas menikmati Sikunir, kami harus segera turun ke lapangan parkir untuk menuju destinasi berikutnya: Kawah Sikidang.
![]() |
Semur kentang khas Dieng, camilan nikmat di jam sarapan |
Supaya ada pengalaman baru, kami memilih jalan yang berbeda dengan pendakian. Saking banyaknya pendaki Sikunir malam ini, antrean pun mengular. Estimasi waktu turun mencapai 30 menit. ☹
Boleh Coba:
- Memeluk teman –kalau bisa sih beda jenis, hehe– bisa menghangatkan tubuh,
- Lanskap perkebunan Dieng terlihat jelas dari Puncak Sikunir, boleh lho untuk berswafoto asal tetap berhati-hati ya,
- Perut keroncongan? Cobalah makan snek kentang semur khas Dieng. Rasanya? Tidak diragukan lagi, manis dan gurih berpadu menjadi satu.
*harga umum (rata-rata) semua rental mobil di DIY
Posting Komentar