Kegagalan Indonesia dalam menetapkan produk minyak kelapa sawit (crude palm oil) sebagai eco-environmental-product pada Forum Perdagangan Internasional mengancam keberlangsungan pasar bagi produk-produk tersebut. Status sebagai eksportir CPO terbesar di dunia tak diimbangi dengan imaji produk yang ramah terhadap lingkungan. Hal tersebut tentu saja dapat menimbulkan sentimen negatif dari negara lain yang berimbas pada penuruan pendapatan negara. Kegagalan ini turut membuktikan bahwa masyarakat dunia kini menuntut perusahaan untuk “bermain bersih” dalam mencari laba dengan turut memperhatikan lingkungan.
![]() | ||
Seorang petani sawit tengah memanen buah kelapa sawit yang kemudian akan diekstrak menjadi beragam produk |
Dewasa ini, kelapa sawit masih menjadi komoditas utama sektor perkebunan di Indonesia dengan pertumbuhan paling pesat. Mengacu pada data Kementerian Pertanian tahun 2012, pertumbuhan produksi kelapa sawit meningkat sebesar 7,7% setiap tahunnya (periode 2008–2012) dengan total produksi tahun 2012 sebesar 23,52 juta ton. Angka ini cukup fantastis mengingat pertumbuhan komoditas lain tidak melebihi 5%: karet 2,95%; cengkeh 2,69%; kakao 3,11%.
Nilai ekspor CPO Indonesia pun mengalami peningkatan seiring dengan tingginya kebutuhan hasil olahan CPO. Seperti diketahui, CPO dapat diolah menjadi minyak goreng, sabun, margarin, pengembang kue, minyak tekstil, hingga bio diesel. Pada 2004 lalu, nilai ekspor CPO Indonesia hanya berkisar USD 1,06 miliar atau baru 1,74% dari total ekspor. Kondisi ini meningkat pada satu windu kemudian, dimana nilai ekspor mencapai USD 8,42 miliar atau setara 4,43% total ekspor Indonesia.
Sebagai eksportir terbesar pada sektor CPO, Indonesia bersaing ketat dengan Malaysia. Negara tetangga yang masih satu iklim dengan Indonesia ini mampu menandingi jumlah ekspor CPO Indonesia. Kedua negara ini memasok kebutuhan CPO dunia sebesar 85%. Namun begitu, Indonesia masih unggul komparatif daripada Malaysia.
Bukan tanpa masalah, beberapa perkebunan kelapa sawit di Indonesia juga berdampak terhadap lingkungan sekitar, bahkan sempat dibawa ke Forum Internasional. Kebakaran lahan, pembalakan hutan, hingga pencemaran ekosistem, menjadi topik utama pembahasan di dalamnya. Adanya keterkaitan oknum penegak hukum, aparat negara yang bermain kotor dengan perusahaan juga menjadi pembicaraan panas di media. Tak lekang dalam ingatan, masalah kebakaran hutan di Sumatera-Kalimantan sempat viral di mancanegara. Pada kasus ini, terdapat 413 perusahaan yang terindikasi menyebabkan kebakaran seluas 1,7 juta hektar. Menurut tim peneliti dari Center for International Forestry Research (CIFOR), 90% persentase kebakaran hutan tersebut disebabkan oleh “tangan jahil” manusia.
Melalui pelaksanaan program Corporate Social Responsibility (CSR) atau — dalam Bahasa Indonesia disebut sebagai Tanggung Jawab Sosial Lingkungan (TJSL), perusahaan dapat membangun kembali imaji positinya sebagai korporasi pemerhati kondisi para pekerja, masyarakat setempat, khususnya lingkungan. Tak hanya itu, dengan adanya laporan berkelanjutan (sustainability report) pada implementasi CSR, memungkinkan perusahaan untuk melakukan pembelaan ketika ada perkara yang dituduhkan. Belum lagi apabila perusahaan mampu menjaga sinergi dan harmonisme dengan masyarakat sekitar akan memberikan dampak positif terhadap perusahaan.
Ke depan, perusahaan yang terlibat dalam setiap kasus yang merusak lingkungan harus bertanggungjawab penuh terhadap pihak terdampak yakni masyarakat. Tanggungjawab tersebut misalnya dalam bentuk pemberian kompensasi berupa santunan bagi korban dll. Pemerintah selaku pihak pembuat regulasi tentu saja harus membuat regulasi yang ketat terkait syarat pembukaan lahan, perizinan operasi dan perusahaan perkebunan.
Daftar Pustaka
- Ermawati. (2013, November 22). Kinerja Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia — The Export Performance of Indonesia’s Palm Oil. Dipetik Desember 12, 2016, dari Kementerian Perdagangan Republik Indonesia: www.kemendag.go.id/files/pdf/2014/04/08/-1396953386.pdf
- Rahmatullah. (2011). Panduan Praktis Pengelolaan CSR. Samudera Biru.
- Suherman, A. A. (2012, September 30). TJSL: Belajar Dari Kegagalan CPO Sebagai Produk Ramah Lingkungan. Dipetik Desember 09, 2016, dari http://koran.bisnis.com/read/20120930/251/98152/tanggung-jawab-sosial-lingkungan-belajar-dari-kegagalan-cpo-sebagai-produk-ramah-lingkungan-1
- Susanto, A. (2015, September 04). Apa yang paling banyak menyebabkan kebakaran hutan di Indonesia? | Rappler Indonesia. Dipetik Desember 12, 2016, dari http://www.rappler.com/indonesia/104764-kebakaran-hutan-indonesia-cifor