Jogjakarta, salah satu kota di selatan Jawa ini namanya menggaung hingga ke penjuru negeri. Dikenal sebagai kota pelajar, kota pariwisata, sekaligus kota budaya, Jogjakarta memang memiliki segudang potensi yang sangat besar. Tradisi, adat istiadat, nilai dan norma setempat (kadang disebut sebagai unggah-ungguh), masih cukup terjaga. Kehidupan antar agama, ras, dan etniknya, selaras dalam harmoni, saling menghormati tanpa menyinggung kontras yang ada. Kekentalan budaya inilah yang menjadikan Jogjakarta dikenal sebagai salah satu kota tujuan wisata, dengan slogan khasnya ‘Jogja Istimewa’.
Banyaknya destinasi wisata di penjuru Jogjakarta menjadikan kota ini harus menyediakan sarana dan prasarana penunjang pariwisata. Gedung-gedung hotel sebagai bentuk penyediaan akomodasi bagi wisatawan dengan konsep pencakar langit mulai mengisi sudut kosong kota, diversifikasi atraksi wisata di berbagai tempat, juga bandara kelas internasional baru yang megah tengah digarap di Kulonprogo, lengkap dengan konektivitas transportasi dan integrasi antar moda. Semua ini semata-mata untuk mengakomodir wisatawan supaya mudah dan betah untuk berkunjung lagi ke Jogjakarta. Secara tidak langsung, pariwisata memang telah menaikkan taraf hidup masyarakat lokal.
Dekulturasi adalah proses melunturnya nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat. Proses ini terutama terjadi di wilayah perkotaan dimana hubungan sosialnya cukup renggang. Ditambah adanya proses modernisasi, interaksi sosial yang kompleks, serta kontak dengan budaya lain, maka proses dekulturasi bukan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Kondisi ini pun turut terjadi di Kota Jogjakarta yang ikut terbangun oleh industri pariwisatanya. Masyarakat Jogjakarta yang beragam melahirkan corak berbeda dalam masyarakat. Dekulturasi di Jogjakarta terjadi oleh adanya proses modernisasi dan kontak dengan budaya asing. Proses ini menghilangkan jatidiri masyarakat Jogjakarta yang sebenarnya. Padahal, keramahtamahan dan lekatnya atmosfer kebudayaan masih menjadi salah satu alasan utama wisatawan berkunjung ke Jogjakarta. Menjadi sedikit kontradiktif ketika Jogjakarta yang dinobatkan sebagai kota wisata kultural terbaik, justru ikut mengalami proses dekulturasi yang kencang dan bisa merusak nilai kepariwisataan itu sendiri.
Proses dekulturasi ini terjadi secara alamiah di dalam masyarakat Jogjakarta. Ketika pembangunan industri pariwisata di Jogjakarta mulai bergeliat[1], tetapi hanya mementingkan manfaat ekonomi semata, maka aspek lain dalam masyarakat akan tertinggal. Ada tiga dimensi yang harus diperhatikan dalam menerapkan sustainable tourism development supaya nilai kebermanfaatan pariwisata setempat dapat berorientasi jangka panjang. Ketiga dimensi ini adalah adanya kebermanfaatan secara ekonomi, Pembangunan seimbang yang menitikberatkan pada tiga dimensi di atas dapat memenuhi kebutuhan infrastruktur kepariwisataan, sekaligus menjaga keberlangsungan sosial-budaya pada masyarakat setempat. Selama ini, pemerintah Jogjakarta masih terfokus pada pembangunan fisik saja dan terkesan abai terhadap gejala perubahan sosial yang ada. Pembangunan fisik tidak akan berarti jika pembangunan manusianya tidak seirama. Dekulturasi merupakan salah satu gejala tersebut.
Proses dekulturasi dalam masyarakat Jogjakarta memang tidak terlihat secara signifikan. Akan tetapi -dalam jangka panjang- dekulturasi mampu mengikis pondasi solidaritas kultural masyarakat Jogjakarta yang sejatinya menjadi ‘objek kenikmatan’ bagi para wisatawan.Wujud dekulturasi dalam kehidupan bermasyarakat seperti hilangnya tata-krama dan sopan-santun, serta lunturnya etika dalam bermasyarakat.
Modernisasi memang. Terbukanya akses informasi pada era modernisasi memungkinkan adanya kontak kebudayaan serta infiltrasi kebudayaan asing. Seperti contoh, kebudayaan populer dari Korea Selatan yang banyak digemari oleh kawula muda. Atau, dominasi Bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari diantara mahasiswa. Penetrasi kebudayaan asing ini mulai menggeser nilai-nilai kebudayaan lokal, dimana originasi disebabkan oleh akses informasi yang mudah. Belum lagi, proses pertukaran kebudayaan melalui media informasi saat ini sulit disaring antara mana yang baik dan mana yang buruk (sesuai nilai-nilai lokal).
Asimilasi dan akulturasi masih berada dalam ambang wajar terjadi pada masyarakat modern. Pencampuran kebudayaan — baik menghasilkan kebudayaan baru maupun tidak, selama tidak bertentangan dengan nilai adat dalam masyarakat masih dapat diterima. Hal ini menjadi berbeda apabila dari kontak budaya tersebut dihasilkan kebudayaan devian yang sejatinya merupakan bentuk penyimpangan sosial (dan dekulturasi, tentunya). Kurangnya kesadaran masyarakat dalam melakukan rejeksi menjadi batu loncatan bagi deviasi untuk berkembang. Hilangnya sopan-santun dari kawula muda, pudarnya tata karma dalam berbahasa, dan sirnanya rasa hormat kepada orang yang lebih tua adalah beberapa contoh deviasi. Premanisme, kriminalitas, dan klitih adalah beberapa contoh deviasi yang sudah dan tengah marak terjadi di Jogjakarta saat ini.
Fenomena dekulturasi ini cukup genting untuk dicarikan jalan keluar melalui serangkaian proses penelitian. Hasil dari penelitian nantinya dapat dijadikan rekomendasi kepada pemerintah Jogjakarta agar nantinya dalam menerapkan kebijakan maupun program yang berguna sebagai kontrol sosial: meminimalisir dampak dekulturasi dan degradasi masyarakat. Selain itu, masyarakat dan lembaga/kelompok masyarakat juga perlu dibekali strategi yang tepat agar dapat ikut andil dalam menanggulangi dampak dekulturasi.
Thobari, H. (2016, September 10). Perkembangan Jumlah Wisatawan Mancanegara ke DIY Tertinggi se-Indonesia. Diambil kembali dari Tribun Jogja: http://jogja.tribunnews.com/2016/09/10/perkembangan-jumlah-wisatawan-mancanegara-ke-diy-tertinggi-se-indonesia
Yogyakarta, B. P. (2015). Jumlah Akomodasi, Kamar dan Tempat Tidur Hotel menurut Kabupaten/Kota di D.I. Yogyakarta, 2006–2015. Diambil kembali dari BPS Provinsi D.I. Yogyakarta: https://yogyakarta.bps.go.id/website/tabelExcelIndo/Indo_16_21775159.xls
[1]Asumsi berdasarkan data daya okupasi hotel regional D.I. Jogjakarta per 2006–2015
Banyaknya destinasi wisata di penjuru Jogjakarta menjadikan kota ini harus menyediakan sarana dan prasarana penunjang pariwisata. Gedung-gedung hotel sebagai bentuk penyediaan akomodasi bagi wisatawan dengan konsep pencakar langit mulai mengisi sudut kosong kota, diversifikasi atraksi wisata di berbagai tempat, juga bandara kelas internasional baru yang megah tengah digarap di Kulonprogo, lengkap dengan konektivitas transportasi dan integrasi antar moda. Semua ini semata-mata untuk mengakomodir wisatawan supaya mudah dan betah untuk berkunjung lagi ke Jogjakarta. Secara tidak langsung, pariwisata memang telah menaikkan taraf hidup masyarakat lokal.
![]() |
Tugu Pal Putih termasuk salah satu faktor penarik sekaligus destinasi populer di Kota Jogja |
Dekulturasi, Ancaman Kepariwisataan Jogjakarta
Dekulturasi adalah proses melunturnya nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat. Proses ini terutama terjadi di wilayah perkotaan dimana hubungan sosialnya cukup renggang. Ditambah adanya proses modernisasi, interaksi sosial yang kompleks, serta kontak dengan budaya lain, maka proses dekulturasi bukan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Kondisi ini pun turut terjadi di Kota Jogjakarta yang ikut terbangun oleh industri pariwisatanya. Masyarakat Jogjakarta yang beragam melahirkan corak berbeda dalam masyarakat. Dekulturasi di Jogjakarta terjadi oleh adanya proses modernisasi dan kontak dengan budaya asing. Proses ini menghilangkan jatidiri masyarakat Jogjakarta yang sebenarnya. Padahal, keramahtamahan dan lekatnya atmosfer kebudayaan masih menjadi salah satu alasan utama wisatawan berkunjung ke Jogjakarta. Menjadi sedikit kontradiktif ketika Jogjakarta yang dinobatkan sebagai kota wisata kultural terbaik, justru ikut mengalami proses dekulturasi yang kencang dan bisa merusak nilai kepariwisataan itu sendiri.Proses dekulturasi ini terjadi secara alamiah di dalam masyarakat Jogjakarta. Ketika pembangunan industri pariwisata di Jogjakarta mulai bergeliat[1], tetapi hanya mementingkan manfaat ekonomi semata, maka aspek lain dalam masyarakat akan tertinggal. Ada tiga dimensi yang harus diperhatikan dalam menerapkan sustainable tourism development supaya nilai kebermanfaatan pariwisata setempat dapat berorientasi jangka panjang. Ketiga dimensi ini adalah adanya kebermanfaatan secara ekonomi, Pembangunan seimbang yang menitikberatkan pada tiga dimensi di atas dapat memenuhi kebutuhan infrastruktur kepariwisataan, sekaligus menjaga keberlangsungan sosial-budaya pada masyarakat setempat. Selama ini, pemerintah Jogjakarta masih terfokus pada pembangunan fisik saja dan terkesan abai terhadap gejala perubahan sosial yang ada. Pembangunan fisik tidak akan berarti jika pembangunan manusianya tidak seirama. Dekulturasi merupakan salah satu gejala tersebut.
Proses dekulturasi dalam masyarakat Jogjakarta memang tidak terlihat secara signifikan. Akan tetapi -dalam jangka panjang- dekulturasi mampu mengikis pondasi solidaritas kultural masyarakat Jogjakarta yang sejatinya menjadi ‘objek kenikmatan’ bagi para wisatawan.Wujud dekulturasi dalam kehidupan bermasyarakat seperti hilangnya tata-krama dan sopan-santun, serta lunturnya etika dalam bermasyarakat.
Modernisasi memang. Terbukanya akses informasi pada era modernisasi memungkinkan adanya kontak kebudayaan serta infiltrasi kebudayaan asing. Seperti contoh, kebudayaan populer dari Korea Selatan yang banyak digemari oleh kawula muda. Atau, dominasi Bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari diantara mahasiswa. Penetrasi kebudayaan asing ini mulai menggeser nilai-nilai kebudayaan lokal, dimana originasi disebabkan oleh akses informasi yang mudah. Belum lagi, proses pertukaran kebudayaan melalui media informasi saat ini sulit disaring antara mana yang baik dan mana yang buruk (sesuai nilai-nilai lokal).
Asimilasi dan akulturasi masih berada dalam ambang wajar terjadi pada masyarakat modern. Pencampuran kebudayaan — baik menghasilkan kebudayaan baru maupun tidak, selama tidak bertentangan dengan nilai adat dalam masyarakat masih dapat diterima. Hal ini menjadi berbeda apabila dari kontak budaya tersebut dihasilkan kebudayaan devian yang sejatinya merupakan bentuk penyimpangan sosial (dan dekulturasi, tentunya). Kurangnya kesadaran masyarakat dalam melakukan rejeksi menjadi batu loncatan bagi deviasi untuk berkembang. Hilangnya sopan-santun dari kawula muda, pudarnya tata karma dalam berbahasa, dan sirnanya rasa hormat kepada orang yang lebih tua adalah beberapa contoh deviasi. Premanisme, kriminalitas, dan klitih adalah beberapa contoh deviasi yang sudah dan tengah marak terjadi di Jogjakarta saat ini.
Fenomena dekulturasi ini cukup genting untuk dicarikan jalan keluar melalui serangkaian proses penelitian. Hasil dari penelitian nantinya dapat dijadikan rekomendasi kepada pemerintah Jogjakarta agar nantinya dalam menerapkan kebijakan maupun program yang berguna sebagai kontrol sosial: meminimalisir dampak dekulturasi dan degradasi masyarakat. Selain itu, masyarakat dan lembaga/kelompok masyarakat juga perlu dibekali strategi yang tepat agar dapat ikut andil dalam menanggulangi dampak dekulturasi.
***
Referensi
Novita Rifaul Kirom, S. I. (2016). Faktor-faktor Penentu Daya Tarik Wisata Budaya dan Pengaruhnya Terhadap Kepuasan Wisatawan. Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, dan Pengembangan, 536–546.Thobari, H. (2016, September 10). Perkembangan Jumlah Wisatawan Mancanegara ke DIY Tertinggi se-Indonesia. Diambil kembali dari Tribun Jogja: http://jogja.tribunnews.com/2016/09/10/perkembangan-jumlah-wisatawan-mancanegara-ke-diy-tertinggi-se-indonesia
Yogyakarta, B. P. (2015). Jumlah Akomodasi, Kamar dan Tempat Tidur Hotel menurut Kabupaten/Kota di D.I. Yogyakarta, 2006–2015. Diambil kembali dari BPS Provinsi D.I. Yogyakarta: https://yogyakarta.bps.go.id/website/tabelExcelIndo/Indo_16_21775159.xls
[1]Asumsi berdasarkan data daya okupasi hotel regional D.I. Jogjakarta per 2006–2015