Hidup Langgeng di Nglanggeran

Salah satu puncak tertinggi di Jogja Lantai Dua alias Kabupaten Gunungkidul.

Suatu hari Pak Bambang Sunaryo, dosen mata kuliah Sustainable Tourism Development dari jurusan tetangga, pernah berpesan,

“Kalau kalian ingin menjelajahi Gunungkidul, mulailah dengan ekowisata Nglanggeran dahulu.”

Sebuah pesan yang cukup singkat, tetapi unik mengingat tidak hanya Pak Bambang dari jurusan tetangga saja yang menyarankan kami untuk melipir ke Nglanggeran. Beberapa dosen di kelas saya juga pernah merekomendasikan hal yang sama. Lantas, ada apa dan mengapa Nglanggeran itu diucap berulang kali oleh beberapa dosen saya?

***

Ohiya, selama ini rupanya saya sudah delapan kali melewatkan Nglanggeran alias tidak menyinggahinya walau ia berjarak lebih dekat daripada pantai-pantai eksotik Gunungkidul. Dari Kota Jogjakarta, hanya perlu waktu setengah jam untuk menyambanginya. Lokasinya terletak tak jauh dari kawasan Bukit Bintang. Begitu memasuki Gunungkidul dengan lanskap khasnya bergunung-gunung, akan ada banyak plang menunjuk ‘Gunung Api Purba Nglanggeran’ di sepanjang Jln. Wonosari. Mungkin inilah yang membuat Nglanggeran tampak istimewa: ada peninggalan dari zaman oligo-miosen disana.

Kru perjalanan hari ini

Pagi-pagi sekali saya bangun. Arloji sudah membentuk sudut 90°, seperti biasa kabut tipis menggantung di atas aspal kota. Tak lama, rekan saya Doni Suprapto datang membawa Avanza hitam sewaannya, sembari memukulkan pergelangan tangan ke setir. Dengan segera kami bergegas membawa tas-tas kami -penuh terisi pakaian ganti- ke ruang bagasi di belakang.

Jalanan Jogja dini hari memang asik. Sorot oranye lampu jalanan berpadu dengan kesunyian pagi. Udara segar segera mengisi paru-paru kami begitu saya memilih membuka jendela daripada menyalakan AC mobil. Kami rasa, belum banyak manusia terjaga sepagi ini. Salah. Rupanya salah satu sudut Jln. Gejayan sudah ramai aktivitas pedagang memuat dagangan.

***

Memacu kecepatan sepagi ini memang seru. Tidak ada penghambat, penghalang, apalagi ancaman tilang. Dari Piyungan, kami terus menelusuri Jln. Wonosari hingga menemui beberapa penunjuk arah menuju Nglanggeran. Jalan mulai sedikit naik dan berkelok. Di tengah perjalanan, kami berpapasan dengan warga -lengkap dengan mukena, sarung, dan sajadah mereka- mungkin sepulang dari sholat shubuh.

Hanya tiga puluh tiga menit kami berada di dalam mobil. Sebuah dinding bertuliskan “Selamat Datang di Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran” menyambut kehadiran kami, di tengah sunyinya desa Nglanggeran dan instrumen gamelan yang menggema diantaranya.

Sanela Anles, berpose dengan latar Embung Nglanggeran

Kelamnya malam berganti begitu fajar menyingsing. Di depan kami, anak-anak muda setempat tidur di teras pos jaga yang juga sekaligus loket. Tubuh mereka berbungkus sarung cokelat, mengulat, menggigil menahan dinginnya pagi. ‘Wah, masih pada molor penjaganya. Bisa atuh masuk nggak pake bayar,’ benak saya, hehehe. Tapi, sebagai pelancong yang baik -juga nggak mau kena apes gara-gara nggak bayar tiket- kami rela merogoh Rp. 15.000 per kepala. Kedatangan kami pagi ini dihitung sebagai tiket siang (Rp. 15.000), walaupun bukan malam Rp. 20.000.

Tiket sudah di tangan, bekal sudah dibawa, kamera standby, ayo mendaki!

Latar langit sangat syahdu untuk berpose dari sudut pandang kucing

Pendakian dimulai. Mulanya anak-anak tangga menuntun kami hingga hingga taman lapang dengan beberapa kursi bertudung payung. Taman ini cukup kecil dengan beberapa pendopo dan kamar mandi. Begitu kami semakin jauh menyusuri rute pendakian, susunan rapih anak tangga berubah menjadi tanjakan bebatuan. Trek pendakian dihimpit bebatuan besar, di kiri dan kanan. Dinginnya atmosfer pagi menciptakan embun yang membasuh bebatuan. Bahaya jika konsentrasi lengah sedikit pun.

Mas Doni — dengan tubuh tambunnya, tampak kesusahan menaiki anak demi anak tangga. Beberapa kali tangannya mencoba meraih dahan dan ranting dari pepohonan pagar jalan. Begitu pula dengan Sanela. Sandal jepitnya sama sekali tidak membantu dalam pendakian kali ini. Bahkan, ia lebih sering terpeleset karena selip.

***

Etape pertama kami adalah sebuah batu besar yang menjorok ke jurang. Entah bagaimana menyebutnya, dari titik ini kami duduk-duduk santai sembari menebar pandangan ke penjuru cakrawala: beberapa tower TV saling berdekatan ada di barat, hamparan sawah dengan para petani yang berlalu-lalang, juga hamparan kontur bergelombang di selatan yang tengah berselimut kabut.

Pemandangan dari puncak pertama yang sudah memanjakan pandangan

“Oh Tuhanku yang Maha Dahsyat, indah sekali ciptaan-Mu”

Saya berulang kali berdecak kagum laksana pendaki awam yang baru pertama kali menaklukkan trek pendakian. Padahal, sebenarnya kami baru tiba di pos pertama: entah berapa pos lagi yang dilewati untuk tiba di puncak.

“Uwaaak, uwaaak.”

Belum lama kami berswafoto sembari leyeh-leyeh di atas batu besar ini, mendadak terdengar teriakan monyet dari tebing di atas kami. Beberapa monyet -sepertinya dua- melakukan aksi ‘akrobatik’ dengan lompat antar pohon menuju … pos kami! Tak perlu waktu lama bagi mas Farizan dan mbak Uci untuk segera lari menuju pos demi menyelamatkan barang-barang kami.

Dalam beberapa kasus, terkadang satwa liar seperti monyet tak jarang menyerang wisatawan -atau bahkan- mengambil dan membuang barang-barang yang dibawa. Wajar saja kami parno, hehe ~

Matahari semakin tinggi. Tak terasa sudah satu jam kami berada di batu besar. Masih ada beberapa etape yang harus kami lalui untuk tiba di puncak Nglanggeran.

Semakin ke atas, trek pendakian semakin rimbun dengan varietas pohon yang ada. Kali ini, trek semakin terjal dengan batu-batu yang berbungkus lumpur. Bahaya jika kami lengah dalam menapakkan kaki, apalagi kami bisa dibilang ‘salah kostum’. Ya, karena tujuan utama berikutnya adalah ke pantai: sangat kontras dengan gunung, maka kami lebih menyiapkan pakaian pantai.

***

Sorot matahari semakin terik, pepohonan semakin jarang, batu-batu besar kian mendominasi. Akhirnya setelah berjuang mendaki selama tiga jam, kami tiba di puncak utama dengan bendera merah putih terikat ke batang bambu. Puncak ini berupa batu besar berbentuk bulat dengan jurang di sekelilingnya. Untuk mencapai batu ini, pendaki harus menaiki anak tangga dari dahan-dahan kayu keras yang sedikit berlumut. Licin dan ngeri memang.

Tak lupa, di puncak utama kami menyanyikan lagu ‘Indonesia Raya’ demi menghormati para pendiri bangsa yang dengan susah payah menjaga toleransi dan pluralitas. Ya, dari puncak utama ini kami dapat melihat embung Nglanggeran sebagai salah satu sumber mata air bagi masyarakat setempat, juga aktivitas warga yang masih bertumpu pada sistem pertanian. Waktunya leyeh-leyeh dan berswafoto lagi.

***

Salah satu keunikan GAP Nglanggeran, ada warung kejujuran di garis akhir

INTERMEZZO

Kami menemukan sesuatu yang berbeda dari trek pendakian Nglanggeran ini. Begitu kami turun menuju tempat parkir dengan tidak mengikuti rute yang sama dengan pendakian, kami menemukan ‘warung kejujuran’ diantara kandang sapi dan hutan jati. Meski terletak di tengah hutan, mesin pendingin etalase minuman disini menyala. Langsung saja saya tukarkan dua lembar rupiah kelabu dengan sebotol air mineral dingin. Segar rasanya.

Menatap ke arah Embung Nglanggeran

***

Originally published at www.tengara.co on April 30, 2017.