Makan duren dimalam hari; Paling enak dengan kekasih; Dibelah bang dibelah; Enak bang silahkan dibelah
Tiga buah galon saya bawa dari RT 3 ke kantor desa. Jaraknya mungkin sekitar 2 kilometer. Beruntung, mengisi ulang air minum di desa Tumiang masih sangat murah: hanya Rp. 7.000 saja. Setibanya di kantor desa, saya dan Ifan segera menggulirkan galon-galon itu ke ruang dapur yang sebenarnya lorong sempit diantara kantor desa dengan kamar mandi. Kunci motor segera beralih ke teman-teman yang akan berprogram.
![]() |
Durian Tumiang dengan ukuran tidak begitu besar, dijual Rp. 5.000/buah |
Hari ini saya hanya punya satu agenda di sore hari: kembali mengambil data sensus di RT 6. Dari pagi ke siang hari, saya diajak Angga yang juga diajak Bang Iben—salah satu pegawai kantor desa Tumiang, untuk mencari durian. Selama satu minggu terakhir, desa Tumiang setidaknya memasuki musim panen untuk banyak jenis buah: langsat (duku), cempedak, rambutan, jagung, manggis, hingga durian. Banyaknya buah yang panen membuat pondokan kami sering dapat kiriman buah dari warga sekitar. Buat teman-teman yang menjalankan program Gadjah Mada Mengajar, hampir tiap kali datang sekolah dapat bingkisan dari anak-anak. Teman-teman yang siaga di pondokan juga mendapat kiriman buah dari warga yang datang ke kantor desa. Berulang kali warga setempat pun mengajak kami untuk mencari buah-buahan di hutan meskipun pada akhirnya kami hanya menonton mereka saja. Bagi mereka, memperkenalkan rutinitas kehidupan mereka pada tamu seperti kami sangat berkesan. Belum lagi kami yang datang dari Jawa tergolong tamu jauh.
Sebenarnya, sebelum diajak Bang Iben kami pun diajak oleh Pak Supri yang masih satu keluarga dengan Bang Iben juga, "Tapi kebun duren dia belum siap panen." Sekalinya sudah masuk musim panen pun mungkin saya akan menolak ajakan beliau karena memilih berjaga di malam hari.
Canting mengantar saya dan Angga untuk kloter pertama. Ifan diantar kloter berikutnya. Di rumah, Bang Iben rupanya sudah siap dengan senapan anginnya. Ditinggalkannya sang istri memomong anak mereka. Bang Iben mengenakan sepatu boot-nya, Ifan memakai topinya, Angga menyiapkan dirinya, saya pun menyalakan kamera. Siap, mari bergegas karena waktu pun terbatas ~
Jalan yang kami lewati rupanya berbeda dengan jalan menuju Riam Mancar kemarin: kami terus menanjaki bukit hutan Loa ini. Bukit ini tidak begitu tinggi namun cukup menguras stamina kami. Di kiri-kanan jalan setapak yang masih bisa dilewati motor ini ada pohon manggis siap petik, cempedak siap angkut, hingga langsat siap galah. Sesekali Bang Iben berhenti, menerabas semak-semak dan menuruni lereng untuk mengecek apakah pohon durian di sekitar sudah menjatuhkan buahnya. Oiya, indikator kematangan buah durian memang ditentukan dari jatuh-belumnya buah khas Asia Tenggara itu. Tidak ada buah jatuh, perjalanan dilanjutkan.
Drudrudrudrudrudrudrudru ...
Suara helikopter menderu, bergema diantara hutan. Ini adalah kali keenam saya mendengar suaranya bergaung di Tumiang dari kemarin. Heli-heli ini terbang rendah hilir-mudik mengangkut air—atau bahan kimia apalah yang digunakan untuk memadamkan api. Tampaknya sedang ada kebakaran lahan tak jauh dari tempat kami mengabdi. Ya, sudah jadi hal yang biasa di sini kalau para petani membuka ladang berpindah. Umumnya mereka akan membuka lahan di medan miring karena dianggap lebih subur untuk bercocok tanam. Cara mereka membuka lahannya pun unik: meracuni sepetak hutan yang akan dibuka jadi lahan. Setelah tanaman mati mengering barulah pohon-pohon ditebang. Terakhir, lahan yang sudah terbuka dibakar supaya memudahkan proses pembukaan lahan. Zat karbon yang dihasilkan dari pembakaran pun baik untuk tanah.
Canting mengantar saya dan Angga untuk kloter pertama. Ifan diantar kloter berikutnya. Di rumah, Bang Iben rupanya sudah siap dengan senapan anginnya. Ditinggalkannya sang istri memomong anak mereka. Bang Iben mengenakan sepatu boot-nya, Ifan memakai topinya, Angga menyiapkan dirinya, saya pun menyalakan kamera. Siap, mari bergegas karena waktu pun terbatas ~
Jalan yang kami lewati rupanya berbeda dengan jalan menuju Riam Mancar kemarin: kami terus menanjaki bukit hutan Loa ini. Bukit ini tidak begitu tinggi namun cukup menguras stamina kami. Di kiri-kanan jalan setapak yang masih bisa dilewati motor ini ada pohon manggis siap petik, cempedak siap angkut, hingga langsat siap galah. Sesekali Bang Iben berhenti, menerabas semak-semak dan menuruni lereng untuk mengecek apakah pohon durian di sekitar sudah menjatuhkan buahnya. Oiya, indikator kematangan buah durian memang ditentukan dari jatuh-belumnya buah khas Asia Tenggara itu. Tidak ada buah jatuh, perjalanan dilanjutkan.
Drudrudrudrudrudrudrudru ...
Suara helikopter menderu, bergema diantara hutan. Ini adalah kali keenam saya mendengar suaranya bergaung di Tumiang dari kemarin. Heli-heli ini terbang rendah hilir-mudik mengangkut air—atau bahan kimia apalah yang digunakan untuk memadamkan api. Tampaknya sedang ada kebakaran lahan tak jauh dari tempat kami mengabdi. Ya, sudah jadi hal yang biasa di sini kalau para petani membuka ladang berpindah. Umumnya mereka akan membuka lahan di medan miring karena dianggap lebih subur untuk bercocok tanam. Cara mereka membuka lahannya pun unik: meracuni sepetak hutan yang akan dibuka jadi lahan. Setelah tanaman mati mengering barulah pohon-pohon ditebang. Terakhir, lahan yang sudah terbuka dibakar supaya memudahkan proses pembukaan lahan. Zat karbon yang dihasilkan dari pembakaran pun baik untuk tanah.
![]() |
Praktik buka lahan umum di kalangan masyarakat Kalimantan |
Praktik ladang berpindah ini sebenarnya terlarang dan berpidana. Namun karena keterbatasan lahan untuk bertani, pembagian sertifikat tanah yang lamban, tidak adanya penegakan hukum juga polisi hutan, praktik terlarang ini masih terus terjadi. Bahkan di sini, desa tempat saya mengabdi. Masyarakat terpaksa ke dalam hutan, mencari rupiah dengan membuka lahan, karena belum ada kejelasan dari Badan Pertanahan Nasional terkait pembagian tanah di lingkungan mereka. Juru ukur pun terbatas.
***
Kali ini trek kami berpagar pohon karet. Beberapa pohon telah disayat untuk ditoreh getahnya. Masuknya desa Tumiang pada musim kemarau adalah berkah bagi masyarakat setempat, terutama petani karet. Air adalah musuh bagi mereka. Apabila hujan mengguyur yang hampir setiap sore hari, maka getah yang terkumpul akan sedikit membeku. Dalam sehari, para petani rata-rata dapat mengumpulkan dari satu hingga tujuh kilogram getah karet. Getah-getah ini kemudian disatukan dalam cetakan hingga membentuk seperti bantal, dijemur, baru disalurkan pada pengepul. Sayang sekali, memasuki musim kemarau justru harga karet sedang jatuh: Rp. 7.500/kg.
Sebuah sungai di tengah hutan dijadikan warga RT 2 sebagai sumber air minum. Sungainya memang kecil, jernih dan banyak batu besar di atasnya. Meski kecil, debit airnya cenderung stabil, “Kalau hujan, sungai bakal meluap banjir tapi cuma sebentar.” Anak-anak kecil berpapasan dengan kami. Beberapa diantara mereka ada yang membawa keranjang yang mungkin terbuat dari bambu atau rotan, dibuat melonjong, bermotif, dan longgar serta tidak runcing. Keranjang ini umum disanggul menggunakan ikat kepala. “Enggak sakit tuh leher?” pertanyaan biasa bagi warga sini. Bagi masyarakat Dayak, memanggul keranjang di bahu justru lebih sakit. Bang Iben bercerita, tak jauh dari sini ada air terjun yang dikelilingi pohon durian. Anak-anak ini menuju ke sana.
Rehat lima belas menit, perjalanan kami lanjutkan. Kali ini jalanan mendaki sangat curam. Untuk mencapai pohon durian tujuan, kami harus melewati lereng bukit dengan kemiringan sekitar 60 derajat selama kurang lebih 500 meter. Sangat menantang. Sesekali kaki saya terseok akibat tersandung akar-akar pohon yang keluar dari tanah. Pohon-pohon tumbang, batang bambu meringkuk merindang. Saya lelah. “Sedikit lagi sampai,” Bang Iben mencoba menyemangati. Tapi tumpukan pepohonan yang melintangi jalan membuat saya hampir putus asa. Jalan yang seharusnya kami lewati benar-benar lenyap. Mungkin lahan ini baru saja dibuka. Kami memutar, melewati kumpulan bambu-bambu di sebelah kanan. Tak jauh di depan ada sebuah gubuk berangka bambu beratap spanduk tua. Di sana, seorang anak SMP duduk manis sambil menunggu durian yang jatuh.
“Ini pohon duriannya,” tunjuk Bang Iben pada sebuah pohon tua dengan usia berabad-abad lamanya. Pohon itu ditanam oleh kakek buyutnya. Hampir setiap musim panen durian yang berlangsung tiga kali dalam setahun Ia datangi pohon ini. “Ini adekku. Sengaja aku minta pagi-pagi kesini supaya tidak kedahuluan orang lain,” pohon-pohon durian di tengah hutan ini tidak ada yang memiliki. Meski begitu, bukan berarti pohon ini tidak dapat diokupasi. Biasanya masyarakat setempat akan berteriak lantang “Oooooooooouuuuuuuuu ~” sebelum tiba di satu titik pohon durian. Apabila tidak ada respon, berarti titik itu sedang kosong dan siapa saja bisa menguasainya untuk sementara. Apabila ada satu-dua buah durian jatuh, maka buah itu milik pengokupasi itu. Durasi okupasi bebas, biasanya Bang Iben mulai mencari durian pukul 10 pagi hingga jelang maghrib.
Berjam-jam di tengah hutan sambil berbasa-basi soal kebudayaan, saya kembali dengar suara heli itu. Tampaknya ia masih saja terbang rendah hingga membuat daun-daun berguguran.
Berjam-jam di tengah hutan sambil berbasa-basi soal kebudayaan, saya kembali dengar suara heli itu. Tampaknya ia masih saja terbang rendah hingga membuat daun-daun berguguran.
Bress ... Jdukkk ...
Terdengar suara benda keras menghantam tanah. Tidak salah lagi, pasti durian. Kencangnya tiupan angin dari rotasi baling-baling heli membuat tangkai durian patah dan jatuh. “Jo, kamu geser kesini sikit. Takut duriannya jatuh,” sama menengok ke atas, memastikan tidak ada durian tepat di atas kepala saya.
Lantas Bang Iben memerintahkan adiknya untuk memungut buah itu.
Beruntung, meskipun siang hari matahari bersinar terik, rimbunnya dedaunan pohon tua ini merindangi kami. Tidak gerah, sejuk rasa angin sepoi-sepoi. Kami berempat sibuk mengobrol sedang adik Bang Iben hanya duduk-duduk manja di dipan bambu tenda kecil itu, “Kenapa di lingkungan masyarakat Dayak tingkat kriminalitasnya rendah? Karena sedikit saja (melakukan kesalahan) bisa kena hukum adat. Bayarannya paling kecil 3,5 tail, biasanya upacara adatnya pakai ayam yang disembelih. Kalau 6 tail bisa pakai babi. Paling tinggi denda adat 9 tail. Bahkan, bercanda mengacungkan mandau saja bisa kena hukum adat.” Begitulah cara masyarakat setempat menciptakan keamanan: hukum adat mengikat kuat dalam tatanan masyarakat.
***
Beruntung, meskipun siang hari matahari bersinar terik, rimbunnya dedaunan pohon tua ini merindangi kami. Tidak gerah, sejuk rasa angin sepoi-sepoi. Kami berempat sibuk mengobrol sedang adik Bang Iben hanya duduk-duduk manja di dipan bambu tenda kecil itu, “Kenapa di lingkungan masyarakat Dayak tingkat kriminalitasnya rendah? Karena sedikit saja (melakukan kesalahan) bisa kena hukum adat. Bayarannya paling kecil 3,5 tail, biasanya upacara adatnya pakai ayam yang disembelih. Kalau 6 tail bisa pakai babi. Paling tinggi denda adat 9 tail. Bahkan, bercanda mengacungkan mandau saja bisa kena hukum adat.” Begitulah cara masyarakat setempat menciptakan keamanan: hukum adat mengikat kuat dalam tatanan masyarakat.
Topik obrolan kami sedikit ngalor-ngidul: mulai dari tentang kondisi sosio-kultur-historikal masyarakat Dayak, mitigasi kebencanaan, pengalaman hidup, usaha mikro, kopi favorit, masalah pendidikan yang tak kunjung usai, hingga pistol angin yang dibawa Bang Iben. “Pelurunya murah, beli di Singkawang. Ada banyak di rumah,” meski hanya pistol angin, peluru yang digunakan bisa menembus badan tupai. Bang Iben pun mendemonstrasikan cara membidik yang benar. Dikokangnya senapan itu lima kali. Semakin banyak kokang ditarik akan semakin berat. Angin yang terhisap pun semakin banyak sehingga membuat tekanan lesatan peluru semakin kencang, “Maksimal 50 meter.” Ia membidik buah cempedak di ketinggian sepuluh meter itu. Moncong senapan miring 49 derajat. Bang Iben fokus pada titik merah pada lubang bidik di ujung senapan. Konsentrasi penuh, perhatian arah dan kecepatan angin. Sedikit keringat membasahi dahinya. Siap?
Phaast ...
Phaast ...
Peluru melesat dengan kencangnya, sedikit melukai kulit buah cempedak. Getah pun menetes karenanya. “Mau coba?” tawar Bang Iben pada kami. Saya kurang tertarik dengan senapan angin dan lebih menyukai paint ball. Angga pun tidak berminat mencoba, sebaliknya dengan Ifan. Ia tampak antusias memegang senapan itu. Bang Iben menarik kongkang sebanyak tiga kali, diberikannya pada Ifan sembari membetulkan cara membidik yang benar, “Letakkan di bahu. Coba tembak batang bambu itu.” Jarak antara Ifan berdiri dengan bambu mungkin sekitar 2,5 meter. Ifan mencoba fokus. Membidik tentu sulit baginya yang menggunakan kacamata silinder.
Angin sudah berhenti. Ia tarik pelatuk.
Phaast ...
Peluru melesat sangat jauh, tidak kena sasaran. “Ah Fan, nembak bambu aja nggak bisa. Apalagi nembak cewek ~”
***
Lima jam menunggu, tidak banyak durian yang kami dapat. Mungkin sepuluh biji saja. Ifan dan Angga lahap menyantap buah berdaging lunak berbau menyengat itu. Saya sendiri merasa tidak doyan, “Belum nyoba aja.” Angga membujuk saya untuk mencicipi, “Satu aja.” Jam makan siang di pondokan kami lewati, beruntung Bang Iben sudah siap membawa dua bungkus mi instan. “Nanti minya dicampur duren,” hah? Apa enak? Durian saja tidak enak, mi rebus saya tidak doyan. Apalagi kalau keduanya dicampur?
Adik Bang Iben segera menyiapkan perapian. Ditiupkannya angin melalui batang bambu muda itu secara konstan. Arang-arang membara, asap membumbung tinggi. Bang Iben memotong bambu dan percabangannya. Ditancapkannya ujung runcing bambu itu. Dimasukkannya bambu yang lebih kecil ke gagang untuk menggantung panci. Jadilah tungku sederhana. Sudah lima tahun saya tidak mempraktikkan materi kepramukaan ini. Air direbus. Untuk mempercepat perebusan, Bang Iben menggunakan daun pisang sebagai tutup panci.
Mi instan hampir masak, daging durian ikut direbus bersama kuah mi tanpa dipisahkan dari bijinya. Berhubung di tengah hutan tidak ada sendok, Bang Iben membuat sendok dari bilah bambu muda. Lidah sendok memanfaatkan batas buku batang bambu sehingga berbentuk cekung. Sebelum digunakan, pastikan sendok bebas serbuk bambu dan serat sudah halus supaya tidak terluka.
Mi siap santap! Saya cicipi kuahnya dengan ujung sendok bambu. Awalnya rasa gurih bumbu mi terasa di lidah, namun bergantian dengan rasa tak terdefinisikan dari daging durian. Karena perebusan sedikit lama, daging durian tidak selembek sebelumnya. Ia begitu mudah hancur, bahkan tanpa perlu dikunyah terlebih dahulu. Meski terkesan njomplang, kolaborasi keduanya begitu pas di lidah saya.
Ini kali pertama saya mengecap buah berdaging lembek itu. Biasanya saya memilih menghindar. Rasanya sedikit menyesal selama ini tidak mencicipinya.
Wah bisa dicoba nih di pondokan, mumpung stok mi instan masih satu kardus penuh.
Wah bisa dicoba nih di pondokan, mumpung stok mi instan masih satu kardus penuh.