Eksotisme Dayak dalam Tato (NSFW)

Pukul 9 pagi, Pak Hari akhirnya tiba juga di pondokan kami. Bersama dengan Fabian, beliau sempat menginap di rumah warga malam sebelumnya. Seperti biasa, sebagai dosen pembimbing lapangan pada umumnya, Pak Hari menanyakan seputar lika-liku kehidupan kami di perantauan, kendala dan kesulitan yang dihadapi, kesiapan program yang diusung, hingga secara acak menanyai warga tentang hubungan sosial kami dengan masyarakat sekitar. Beruntung, respon masyarakat setempat sangat baik terhadap kami. Seringkali warga mengajak seluruh atau sebagian dari kami untuk datang berkunjung ke rumah mereka, atau ikut kegiatan yang akan mereka lalukan: panen durian salah satunya. Sayangnya, padatnya proses persiapan program, rapat rutin tiap malam, hingga lokasi pondokan kami yang terisolasi dari perumahan warga—RT 5 Sakek paling dekat, dan ketiadaan kendaraan menjadi kendala terbesar kami. Memang tidak enak rasanya sudah lama singgah tapi kurang menyapa, meskipun sebenarnya warga lokal pun memaklumi.

“Pak kades sakit,” ujar Vikka. Belum mandi, belum bersolek, saya dan teman-teman lainnya diajak untuk menyambangi rumah Pak Kades yang terletak di RT 7 Sangkinahu. Jaraknya memang relatif dekat, hanya 1-2 kilometer dengan berjalan kaki. Namun teriknya sinar mentari siang ini, ditambah separuh jalan masih bebatuan cadas dan naik-turun bagai kurva, semoga saja tidak menguapkan cairan di tubuh ini, dehidrasi, lalu tumbang di tengah jalan.

Sepanjang jalan, langkah saya relatif paling cepat diantara teman-teman saya. Sesekali mereka mengingatkan untuk menunggu, tapi langkah saya kembali mengalami akselerasi. Sebenarnya alamiah karena faktor lingkungan. Di tempat saya tumbuh berkembang, ritme kehidupan begitu cepat. Di Magelang, saya terbiasa melaksanakan sesuatu di awal waktu selagi sempat. Di Jakarta, padatnya kereta komuter dan bus transit membuat saya terbiasa untuk selalu bergegas. “Kalo misal terlambat sedikit aja, bisa gawat karena harus menunggu. Apalagi kereta,” terang saya pada Sedya. Partner saya untuk piket masak setiap Jumat ini andal untuk urusan ulek-mengulek sambal.

Unik. Sebelum tiba di RT 7 saya menemukan ujung aspal jalan desa ini, kemudian berganti dengan jalanan batu. Pak kades Ardilala adalah salah satu petinggi pemerintahan di desa ini. Beliau yang mengatur masyarakat hingga menginisiasi program dalam masyarakat, salah satunya terkait dana desa. Tahun 2016 lalu dana desa Tumiang yang dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur desa sebesar Rp. 625.300.000, namun jalan di kampung tempat pak kades tinggal masih berwujud tanah berbatu. Ya, anggaran terlihat besar memang, tapi harus diporsi untuk perbaikan jembatan, pembuatan drainase dan sanitasi, dan sebagainya.

Tiba di rumah pak kades, kami disambut kicauan burung beo. Sebentar, dimana pak kades? Rupanya beliau sedang bercukur di samping rumahnya. Lantas beliau segera bergegas begitu terlihat kami. Santai pak, kami cuma berkunjung kok.

Disaat pak kades bercukur, saya sempat melihat tato adat di dada-lengan kanannya. Tato adat ini dibuat dengan tujuan menolak bala (kesialan), sejauh ini hanya itu yang saya tahu. Tak hanya pak kades, sebagian kecil masyarakat Dayak di Tumiang ikut membuatnya: dari hansip desa, hingga petani dan anak dari warga setempat. Umumnya motifnya mirip tanaman rambat bagi saya.

Saya jadi teringat pada waktu pulang dari desa Bukit Serayan, bertemu dengan salah satu petani sawit yang bekerja memanen sawit dari tengah malam hingga pagi hari. Pada waktu itu saya tengah berhenti sejenak untuk memperbarui informasi di Whatsapp di pinggir jalan—maklum di Parompong sama sekali tidak ada jaringan internet. Ia, seorang pemuda paruh baya, keluar dari balik semak-semak sembari memikul dua keranjang pada bilah bambu berisi sawit. Dipindahkannya sawit-sawit itu dengan batang besi, ditusuk, ke bak motor roda tiga. Tubuhnya sangat kekar secara alami, basah dengan keringat kerja keras, juga sedikit hitam terbakar matahari, bau asam pun menyeruak dari tubuhnya. Ia menggunakan ikat kepala berwarna merah maroon khas Dayak dengan kalung salib menjuntai diantara dua dadanya nan bidang. Celana jins pendek biru muda yang sudah compang-camping dan sepatu boot hanyalah dua pakaian yang dikenakannya.

Satu hal yang saya sorot dari dirinya adalah ada tato dengan motif belukar khas Dayak yang diukir dari tumit hingga wajah depan kananya. Ya, tubuh yang sedikit tinggi dari saya itu bertato hebat, dari betis menuju paha, dari pantat/pinggang ke punggung, leher dan sebagian wajah kanannya. Tato yang hebat, namun dibuat hanya sebagian di kanan belakang tubuhnya. Tato-tato itu tentu bermakna sendiri. “Saya penerus tradisi,” katanya dalam logat Dayak kental sembari menyeka keringat di dahi. Singkat. Sayangnya ia sedang sibuk bekerja, padahal saya ingin eksplorasi lebih soal filosofis tato di tubuhnya itu.

Petani sawit di Desa Tumiang tengah menimbang hasil panen

Tato di tubuh pria Dayak mewakili simbol yang berkaitan dengan kekuatan magis, religiusitas, pengobatan, catatan perjalanan, maupun hal-hal yang berkenang dalam kehidupan. Kebanyakan sih simbol tato bagi pria adalah bukti maskulinitas kelaki-lakian yang tahan banting dan penderitaan. Berbeda dengan pria, tato pada tubuh wanita Dayak menandakan kedewasaan dan penjaga diri dari roh-roh jahat juga penolak sakit. Motif tato Dayak kebanyakan terinspirasi dari lingkungan sekitar terutama hutan tropis. Sesekali saya temui sketsa tato memperlihatkan sosok makhluk dalam mitologi masyarakat Dayak.

*** 

Di rumah Pak Kades, kami disuguhi dua jenis minuman: teh atau kopi yang sama-sama panas. Selama masih di lingkungan masyarakat Dayak, jangan lupa aturan kampunan. Saya menyeruput 5 gelas teh selama di sana. Pertemuan Pak Hari dengan Pak Ardilala ini bertujuan untuk merekatkan hubungan kami dengan masyarakat Tumiang, khususnya Pak Kades. Keduanya berbincang soal adat-istiadat setempat, pengalaman berkeliling Indonesia, program yang akan dilaksanakan, juga meminta kami untuk menginventarisasi pengetahuan lokal masyarakat setempat. “Kebetulan ini salah satu program saya dan Ifan pak. Kalau saya mengeposkan tulisan santai di blog, sedang Ifan lebih formal dalam bentuk buku,” pencatatan budaya memang penting bagi saya. Supaya menarik perhatian khalayak umum, saya menceritakan budaya Dayak secara implisit dalam pengalaman saya. Pak Hari dan Pak Ardilala kembali mengobrol, kali ini membahas soal pengobatan medik secara modern tidak selalu manjur, dan justru sesekali kasus kesehatan teratasi dengan metode tradisional. Ilmu pengetahuan medis tradisional ini cukup banyak dan beragam dalam masyarakat Dayak. Tentu bisa jadi bahan program buat Cana yang satu-satunya anak medika di unit KB-001 ini.

Acara senjangsana dengan Pak Kades berakhir. Kami sempatkan untuk berfoto di depan rumah dan warung beliau sebelum kembali berjalan ke kantor desa.

Kebudayaan Dayak memang eksotis.