Hawa dingin menyengat kulit, membuatnya terjaga sepanjang subuh ini. Di kamar sebesar 2,5 x 2,5 meter ini, enam orang berusaha tidur bagai puzzle. “Belum tahu dia. Di sini, kalau mau tidur minimal 2 orang, matras diberesi dulu, dan tidur harus telentang lurus,” jelas Dwi sebelum tidur. Memang pondokan putra Serayan memiliki bantal. Namun tidur di ruangan sekecil ini, sempit, ditambah tumpukan barang-barang pribadi di sisinya membuat saya tidak betah, ‘Tumiang masih jauh lebih baik.’
![]() |
Masyarakat RT 5 Desa Tumiang bergotong-royong mengolah nasi merah menjadi lemang |
Keluar dari Parompong berarti saya melewati jalanan buruk yang sama dengan kemarin sore. Tanah memang basah, tapi tidak lagi licin. Bebatuan membantu motor matik ini bergerak. Tak butuh waktu lama bagi saya untuk tiba di pertigaan Babane.
Sorot mentari membuat hati saya bergetar: hidup adalah karunia Tuhan. Pucuk-pucuk bukit mendapat sorotnya, berlanjut dengan lanskap persawahan dan lereng bermakam salib. Sempat menyilaukan mata, tapi saya tetap mengemudi roda kencana.
Berbelok ke arah Padang, saya disambut dengan bukit berselimut kabut. Luar biasa. Meski siang hari selalu panas dan gerah, saya lupa kalau tempat saya mengabdi berada pada ketinggian seribu mdpl. Sepagi ini, para petani sudah mulai meladang. Ada yang mengolah lahan jagung di sebelah rumah, ada juga yang sibuk memanaskan mesin sebelum ke perkotaan. Sesekali saya berpapasan dengan rombongan kecil mereka.
Empat puluh lima menit, saya tiba di pondokan.
“Jo, kamu bisa bantu cariin gas nggak? Gas melon kita habis nih,” pagi saya disambut tugas mencari gas 3 kilogram dari Selma. Untung motor matik sudah saya panaskan, “Sini. Mungkin aku ke warung sebelah. Semoga aja buka.” Warung kecil di selatan kantor desa itu memang rajin, pukul 5 pagi saja sudah buka.
“Pagi ini ada gotong royong, nanti ke deket gereja ya,” terang Yemima. Oiya, di Tumiang yang notabene lingkungan masyarakat Dayak ada tradisi untuk membantu keluarga yang akan melangsungkan pernikahan. Tradisi ini tidak punya nama khusus, tapi buat orang yang tidak ingin membantu acara tetangganya, biasanya tetangganya tidak akan membantu juga acara yang akan dihelat orang yang tidak mau membantu itu. Padahal, manfaat bertetangga adalah saling tolong-menolong.
Empat puluh lima menit, saya tiba di pondokan.
“Jo, kamu bisa bantu cariin gas nggak? Gas melon kita habis nih,” pagi saya disambut tugas mencari gas 3 kilogram dari Selma. Untung motor matik sudah saya panaskan, “Sini. Mungkin aku ke warung sebelah. Semoga aja buka.” Warung kecil di selatan kantor desa itu memang rajin, pukul 5 pagi saja sudah buka.
***
“Pagi ini ada gotong royong, nanti ke deket gereja ya,” terang Yemima. Oiya, di Tumiang yang notabene lingkungan masyarakat Dayak ada tradisi untuk membantu keluarga yang akan melangsungkan pernikahan. Tradisi ini tidak punya nama khusus, tapi buat orang yang tidak ingin membantu acara tetangganya, biasanya tetangganya tidak akan membantu juga acara yang akan dihelat orang yang tidak mau membantu itu. Padahal, manfaat bertetangga adalah saling tolong-menolong.
![]() |
Pemuda dan bapak-bapak menganyam dekorasi |
Pukul 10 pagi, saya bergegas menuju samping gereja. Sebuah rumah panggung mungil sudah sibuk sejak satu jam yang lalu. Terlambat memang, dan sepertinya warga tidak begitu membutuhkan tenaga kami karena yang ada mungkin hanya merepotkan mereka. Di beranda rumah, muda-mudi Tumiang duduk santai berbincang. Selinting rokok dengan racikan tradisional terselip diantara kedua jari mereka, “Ini tembakau dari Jawa.” Di sisi lain ruang tamu hanya sibuk dengan satu pekerjaan: bapak-bapak menganyam kertas berwarna pada dekorasi bambu berbentuk mirip perangkap ikan. Di ruang dapur, ibu-ibu muda dan tua juga nenek membungkus nasi merah. Tangan mereka tampak ulet melipat dedaunan pisang, memasukkan nasi matang ke dalamnya. Di ruang belakang yang umum berfungsi sebagai gudang, kelompok kecil wanita sedang mencacah jeroan babi, sedang kelompok kecil lainnya memotongi wortel dan kentang.
![]() |
Ibu-ibu melipat daun layang untuk bungkus nasi |
Asap bakar-bakaran berasal dari belakang rumah. “Babi ini didatangkan dari Monterado,” ujar si bapak pada Andre. Seperti yang sudah saya tulis pada pos tentang mitos dan hukum adat di Tumiang, dalam setiap perayaan pernikahan adat Dayak memang babi yang diternak keluarga sendiri akan disembelih untuk dimasak. Dan kebetulan pasangan kekasih ini berasal dari Tumiang dan Monterado—mendengar namanya membuat saya seperti sedang berada di Meksiko. Meski memasak adalah pekerjaan dapur, rupanya tugas memasak babi dikhususkan untuk para lelaki. Ada dua tungku api besar di sini, keduanya digunakan untuk merebus babi.
Terakhir, ada bebakaran di paling belakang. Di sana, Canting, Andre, dan Angga sebenarnya siap membantu, tapi tenaga sudah banyak. Pekarangan rumah warga itu digunakan untuk membakar nasi lemang. Saya pernah mendengar apa itu lemang, tapi sama sekali belum pernah mencicipi rasanya. Dalam membuat nasi lemang, masyarakat Tumiang menggunakan beras merah sebagai bahan dasarnya. Awal mula pembuatannya, bambu muda dengan batang berdiameter kecil dipotong berdasarkan batas bawah buku-bukunya. Kemudian daun layang dimasukkan ke dalam batang bambu diikuti pengisian beras merah supaya nasi tidak lengket pada dinding bambu ketika masak.
Terakhir, ada bebakaran di paling belakang. Di sana, Canting, Andre, dan Angga sebenarnya siap membantu, tapi tenaga sudah banyak. Pekarangan rumah warga itu digunakan untuk membakar nasi lemang. Saya pernah mendengar apa itu lemang, tapi sama sekali belum pernah mencicipi rasanya. Dalam membuat nasi lemang, masyarakat Tumiang menggunakan beras merah sebagai bahan dasarnya. Awal mula pembuatannya, bambu muda dengan batang berdiameter kecil dipotong berdasarkan batas bawah buku-bukunya. Kemudian daun layang dimasukkan ke dalam batang bambu diikuti pengisian beras merah supaya nasi tidak lengket pada dinding bambu ketika masak.
Pada proses pemasakan nasi lemang, masyarakat membuat rak kecil untuk mendirikan batang-batang bambu. Kemudian di sela-sela rak tersebut diletakkan kayu-kayu kering untuk dibakar. Proses pembuatan nasi lemang sendiri bervariasi tergantung besar-kecilnya api, dan tingkat kematangan yang diinginkan. Terakhir, ketika nasi lemang masak, batang bambu yang melunak sewaktu panas akan dibelah/dikupas untuk mengeluarkan nasi di dalamnya. Soal rasa, tak diragukan lagi. Kami berkesempatan mencicipi nasi lemang sewaktu hangat, pengalaman pertama bagi saya.
***
“Ayo makan!” ajak seorang pemuda pada kami. Ia adalah salah satu warga setempat yang saya kenal melalui tatonya. Ya, beberapa masyarakat setempat memberikan tato-tato adat pada tubuh mereka sebagai upaya untuk menolak bala. Tato ini khas, dibuat mungkin tidak permanen karena tampak memudar.
Berhubung kami Muslim dan sajian yang dihidangkan terlarang (haram) bagi kami, dengan halus kami menolaknya. “Berapa orang yang Muslim?” kami semua yang putra Muslim pak. “Oh, kalau gitu nanti malam makan ayam saja ya. Kami tahu kok yang dilarang untuk Muslim, sudah biasa. Tapi namanya juga budaya adat-istiadat, harus terus dipelihara,” terang bapak berkaos ungu. Komodifikasi budaya ya? Ini unik.
![]() |
Nasi lemang dibalut daun pisang dalam batang bambu muda |
Seiring dengan masuknya pengetahuan baru yang dibawa oleh ritual keagamaan dan teknologi, masyarakat adat perlahan mulai mengalami proses asimilasi atau rekulturasi budaya dengan sedikit modifikasi di dalamnya. Seperti budaya yang satu ini: biasanya babon atau babi menjadi sajian utama. Tetapi setelah masyarakat Dayak mengenal agama-agama yang memiliki aturan dan hukum berbeda di dalamnya, maka satu-dua komponen dalam budaya mereka diubah.
Selain dalam masyarakat Dayak, kondisi serupa juga terjadi pada masyarakat adat Papua. Ritual bakar batu biasanya menggunakan babi sebagai pengorbanan utamanya. Namun setelah Islam menjadi agama panutan masyarakat setempat, maka ayam atau kambing digunakan sebagai penggantinya. Fakta ini membuktikan bahwa agama tetap bisa berkembang tanpa perlu masyarakat meninggalkan tradisi adat mereka.
Selain dalam masyarakat Dayak, kondisi serupa juga terjadi pada masyarakat adat Papua. Ritual bakar batu biasanya menggunakan babi sebagai pengorbanan utamanya. Namun setelah Islam menjadi agama panutan masyarakat setempat, maka ayam atau kambing digunakan sebagai penggantinya. Fakta ini membuktikan bahwa agama tetap bisa berkembang tanpa perlu masyarakat meninggalkan tradisi adat mereka.
“Tapi nanti siang bantu potong ayam ya,” tambah bapak berkaos ungu tadi.
Matahari tepat berada di atas kepala. Kami berlima pamit pulang ke pondokan.